Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil (1): Geger Lubang Sumur

10 Januari 2023   17:54 Diperbarui: 10 Januari 2023   21:50 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image https://pxhere.com

Sehelai daun
jatuh
Memeluk rindu yang rapuh

 Hup!

Sosok berpakaian serba hitam melompat sigap ke atas batu. Mengambil posisi duduk bersila seraya memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak di udara, lalu saling tangkup dan berhenti tepat di depan dada.

"Nyai Fatimah, apakah Nyai baik-baik saja?" Sosok berpakaian serba putih bertanya cemas.

"Tenanglah, Ni Ayu. Aku baik-baik saja." Perempuan yang dipanggil Nyai Fatimah itu menjawab pelan.

Ni Ayu menggeser kakinya sedikit, mendekati parempuan paruh baya yang wajahnya tampak pias terkena cahaya bulan. Ia terpekik kecil saat melihat sudut bibir Nyai Fatimah mengeluarkan darah.

"Astaga, Nyai! Pendekar Tua Aneh itu telah melukai Nyai!" Ni Ayu mencengkeram pundak Nyai Fatimah dengan gusar. Dan, kegusarannya kian menjadi manakala tubuh ringkih itu bergetar hebat, menggeloso, lalu diam.

***

Cakrawala berpeluk dingin
Aduhai...
hati siapakah gerangan yang terbelenggu ingin?

Pendekar Tua Aneh alias Engkong dari Timur (selanjutnya kita sebut Engkong saja, yaa), duduk termangu menatap langit. Pikirannya gundah. Hatinya kembali patah.

Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kadingaren seorang selincah dan seceria Engkong berubah menjadi baperan dan melankolis?

Kisahnya bermula dari sini.

Beberapa jam lalu Engkong turun dari Padepokan Kandang Sapi. Hendak mencari angin segar. Saat asyik bersiul-siul melintasi jalan setapak, seseorang--- berpakaian serba hitam menghadangnya.

"Akhirnya kta bertemu juga, Pendekar Tua!"

Menilik dari suara dan postur tubuhnya, Engkong yakin sosok di hadapannya itu adalah seorang perempuan.

"Rasakan jurus Samber Nyawa ini Pendekar Tuaaaa! Ciiiiaaaaaat!!!"

Diegh!

Satu pukulan sarat tenaga dalam nyaris mengenai dada kiri Engkong. Untung lelaki tua itu masih sempat memiringkan tubuh beberapa senti. Kalau tidak?

"Satu lagi! Jurus Lampah Lumpuh!"

Bet! Bet! Bet!

"Hoooiiiiiiiii...Apa-apaan ini? Jangan asal main serang begini, dong! Tunjukkan apa salah dan dosaku!" Engkong berseru kebingungan seraya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi.

"Jangan banyak tanya! Terimalah jurus pamungkas ini! Geger Lubang Sumur! Hiyaaaaaaaa...!!!"

Jledddeeer!!!

Engkong terkejut bukan alang kepalang. Bunyi serupa petir diikuti kabut pekat bergulung-gulung menuju ke arahnya.

Takada kesempatan untuk menghindar kecuali menyerang balik menggunakan jurus ampuh andalannya. Bumerang Wuyung.

Engkong pun menjentikkan dua ujung jari. Dan, wuuuusss....bleb, bleb, bleb, entah dari mana puluhan bumerang muncul, berputar-putar di udara menangkis dan membelokkan pusaran kabut yang siap melumat tubuh tuanya.

"Aargggh...!!!"

Terdengar erangan kecil menahan sakit. Kiranya sosok berpakaian serba hitam telah terkena desingan salah satu bumerang. Engkong sontak melompat sigap, siap memburu penyerang gelapnya.

Tapi Engkong kalah cepat. Sosok yang diburunya melenting tinggi. Sekejap kemudian ia hilang ditelan kegelapan malam.

***

Engkong masih duduk termangu di bawah redup cahaya bulan. Pikirannya belum berhenti menerka-nerka. 

Siapa sesungguhnya perempuan berpakaian serba hitam itu? Mengapa ia menyerangnya bagai singa betina yang terluka?

Mendadak Engkong teringat sesuatu. 

Bukankah perempuan berpakaian serba hitam itu sempat menyebutkan satu jurus yang nyaris membuyarkan konsentrasinya?

Yap, benar. Jurus Geger Lubang Sumur!

Plak!

Engkong memukul jidatnya sendiri keras-keras. Bagaimana bisa ia menjadi sepikun ini?

Fatimah.

Pasti dia! Ya, pemilik frasa 'lubang sumur' siapa lagi kalau bukan dia?

Engkong seketika tergugu. Perasaannya semakin ricuh.

Kalau benar sosok itu adalah Fatimah, apa yang sudah kulakukan terhadapnya? Aku sudah menyerangnya menggunakan jurus mematikan. Dan, itu sungguh perbuatan kejam!

Engkong menutup wajah dengan kedua tangan.

***

Taman Masa Lalu.

Waktu berlalu bagai anak panah melesat dari busur
Duhai rindu, mengapa masih juga membangkang dan sulit diatur?

Felix.

Nama pemberian orangtua itu pernah gagah disandangnya. Nama yang memiliki makna sangat indah. Yakni keberuntungan.

Ya. Felix muda tidak memungkiri jikalau keberuntungan memang selalu berpihak kepadanya.

Tapi benarkah Felix muda selalu berada dalam lingkar keberuntungan? Tidakkah sekali waktu ia mengalami kegagalan?

Seraya mendengus kecil Engkong yang terlempar ke Taman Masa Lalu menajamkan indera penglihatan juga ingatannya.

Dan, ia melihatnya lagi. 

Melihat taman yang dipenuhi aneka ragam bunga. Melihat sosok perempuan berambut panjang berdiri membelakanginya. Juga melihat dirinya sendiri---Felix muda yang tampan, gagah, dan penuh gairah.

Ya. Ia kembali melihat semuanya dengan jelas. Bagaimana Felix muda berjalan mindik-mindik menyisir area taman demi mendekati parempuan berambut panjang yang tengah menikmati keharuman bunga-bunga itu.

Aih, degup jantung. Selalu saja berpacu bagai kuda liar. Adakah ia penyebabnya? Sang dewi impian pemuja wangi seribu mawar

Kali ini Engkong memejamkan mata. Membiarkan masa lalu bergulir mengulang kisah. Membiarkan Felix muda menentukan sendiri takdir cintanya.

"Fatimah! Bisa kita bicara empat mata? Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu." Felix muda riang membuka percakapan. Laki-laki itu sudah berdiri begitu dekat, sangat dekat. Bahkan sudah menyiapkan senyum paling manis pula, jikalau Fatimah mendadak membalikkan tubuh ke arahnya.

"Kamu yakin kita bisa bicara empat mata, Felix? Aku khawatir pembicaraan kita tidak akan nyambung. Karakter kita sangat jauh berbeda. Kamu orangnya rasionalis. Juga, mm, terlalu pintar. Sedangkan aku? Aku hanya perempuan biasa yang menyukai hal-hal absurd." Fatimah menyahut datar. Sesekali kepalanya menunduk mengecup kuntum-kuntum mawar yang berebut mekar.

Mendapati respon Fatimah yang biasa-biasa saja, Felix muda sontak terdiam. Senyum manis yang semula disiapkan, perlahan dilemparnya jauh-jauh.

"Oh, ya, Felix. Menurutmu butuh waktu berapa lama seseorang menggali 'lubang sumur' hingga mengeluarkan air?" Fatimah sengaja mengalihkan pembicaraan. Jemarinya yang lentik menunjuk ke arah seorang laki-laki yang sibuk mengeduk tanah di sudut taman.

"Apa kaubilang? Lubang sumur? Bhuahahaha...." Tawa Felix mendadak pecah tanpa bisa dicegah. 

Fatimah terperangah. Tawa tanpa kontrol itu membuatnya berbalik badan.

"Apa ada yang lucu, Felix? Kenapa kamu tertawa sefrontal itu?" Mata Fatimah menyorot tajam. Wajahnya yang tirus memerah padam.

Bukannya menjawab pertanyaan yang diselimuti hawa amarah itu, Felix muda malah mengumbar tawa lebih keras lagi.

Dan, itu fatal.

Fatimah tersinggung. Amat sangat tersinggung. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki yang selama ini diam-diam dikaguminya, yang nyaris berhasil meluluhkan hatinya, tega menertawakan dirinya sedemikian rupa?

Dalam sekedipan mata hal tidak terduga pun terjadi.

Ciiiiaaaaaat...!!!

Deb! Deb! Deb!

Tiga pukulan dahsyat mendarat telak di dada kiri Felix. Lelaki muda itu terhuyung lalu jatuh.

"Dengar, Feliiiix! Mulai saat ini kita adalah musuh bebuyutan!" Fatimah berseru lantang seraya menahan tangis. 

Sesudahnya, menggunakan jurus Tapak Seribu Luka, perempuan itu melesat pergi. Meninggalkan Felix yang tidak tahu mesti berbuat apa.


Bersambung....

***
Malang, 10 Januari 2023
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun