Ya. Ia kembali melihat semuanya dengan jelas. Bagaimana Felix muda berjalan mindik-mindik menyisir area taman demi mendekati parempuan berambut panjang yang tengah menikmati keharuman bunga-bunga itu.
Aih, degup jantung. Selalu saja berpacu bagai kuda liar. Adakah ia penyebabnya? Sang dewi impian pemuja wangi seribu mawar
Kali ini Engkong memejamkan mata. Membiarkan masa lalu bergulir mengulang kisah. Membiarkan Felix muda menentukan sendiri takdir cintanya.
"Fatimah! Bisa kita bicara empat mata? Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu." Felix muda riang membuka percakapan. Laki-laki itu sudah berdiri begitu dekat, sangat dekat. Bahkan sudah menyiapkan senyum paling manis pula, jikalau Fatimah mendadak membalikkan tubuh ke arahnya.
"Kamu yakin kita bisa bicara empat mata, Felix? Aku khawatir pembicaraan kita tidak akan nyambung. Karakter kita sangat jauh berbeda. Kamu orangnya rasionalis. Juga, mm, terlalu pintar. Sedangkan aku? Aku hanya perempuan biasa yang menyukai hal-hal absurd." Fatimah menyahut datar. Sesekali kepalanya menunduk mengecup kuntum-kuntum mawar yang berebut mekar.
Mendapati respon Fatimah yang biasa-biasa saja, Felix muda sontak terdiam. Senyum manis yang semula disiapkan, perlahan dilemparnya jauh-jauh.
"Oh, ya, Felix. Menurutmu butuh waktu berapa lama seseorang menggali 'lubang sumur' hingga mengeluarkan air?" Fatimah sengaja mengalihkan pembicaraan. Jemarinya yang lentik menunjuk ke arah seorang laki-laki yang sibuk mengeduk tanah di sudut taman.
"Apa kaubilang? Lubang sumur? Bhuahahaha...." Tawa Felix mendadak pecah tanpa bisa dicegah.Â
Fatimah terperangah. Tawa tanpa kontrol itu membuatnya berbalik badan.
"Apa ada yang lucu, Felix? Kenapa kamu tertawa sefrontal itu?" Mata Fatimah menyorot tajam. Wajahnya yang tirus memerah padam.
Bukannya menjawab pertanyaan yang diselimuti hawa amarah itu, Felix muda malah mengumbar tawa lebih keras lagi.