Ratih memencet satu kali bel rumah bercat kuning gading bergaya kontemporer minimalis itu. Seorang perempuan paruh baya berjalan tenang membukakan pintu pagar, lalu memandunya masuk ke dalam rumah.
"Silakan duduk. Aku panggilkan tuan muda dulu, ya." Perempuan paruh baya itu membawa Ratih ke ruang tamu sebelum berlalu meninggalkannya.
Seorang pria muda berkemeja batik, muncul diikuti oleh perempuan paruh baya tadi.
"Sudah siap bekerja di rumah ini hari ini juga?" pria muda itu bertanya seraya membetulkan letak kacamatanya.
"Si-ap!" Ratih menyahut gugup.
"Oke. Biar Mbok Jum memberitahu apa saja tugas-tugasmu. Sekalian menunjukkan di mana letak kamarmu." Pria berkemeja batik itu menoleh ke arah perempuan paruh baya yang masih berdiri di sampingnya. "Mbok, aku harus segera pergi ke kantor. Ada meeting pagi ini."
Usai mengangguk kecil pria muda itu berjalan tergesa menuju mobil yang terparkir di halaman.
Sepeninggal pria muda itu Mbok Jum mengajak Ratih berkeliling rumah. Menunjukkan ruangan demi ruangan dan berhenti di sebuah kamar yang terletak di bagian sayap rumah sebelah kanan.
"Ini kamarmu. Oh, ya, pekerjaanmu tidak berat. Kamu hanya membantuku memasak di dapur. Itu saja." Jelas Mbok Jum sembari mendorong pintu kamar yang tidak terkunci.
"Terima kasih, Bu." Ratih menyahut pelan.
"Kamu boleh memanggilku Mbok Jum. Oh, ya. Aku sudah puluhan tahun momong dan menemani tuan muda. Sebentar lagi aku akan pensiun." Perempuan paruh baya itu menambahkan.
"Sekarang istirahatlah dulu. Nanti setelah lelahmu hilang, kamu boleh menemui aku di dapur." Mbok Jum menepuk pundak Ratih perlahan lalu berlalu pergi.
Ratih meletakkan tasnya di atas meja. Sebuah cermin berukuran besar terpampang anggun di dinding kamar, tidak jauh dari jendela yang menghadap langsung ke arah taman.
Ratih berdiri di depan cermin itu. Mematut dirinya beberapa saat sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur.
Sembari meluruskan kaki, matanya yang bulat menyapu sekeliling ruangan.
Hm. Sebuah kamar yang cukup luas dan nyaman. Sejenak ia membatin. Tidak salahkah ini? Kamar ini terlalu mewah untuk seorang asisten rumah tangga seperti dirinya.
***
Masih terbaring di atas kasur, Ratih membiarkan pikirannya terlempar jauh ke kejadian kemarin malam. Saat dirinya bersitegang hebat dengan ayah dan ibunya.
"Papa dan Mama tidak bisa memaksaku untuk menerima perjodohan ini. Apalagi dengan laki-laki yang sama sekali tidak kukenal!" Ia berseru lantang.
"Dengar, Ratih. Calonmu ini pria baik-baik. Kami ini sahabat kedua orangtuanya. Jadi..." Ibunya mencoba meluluhkan hatinya yang kadung tersinggung.
"Ah, Ibu. Baik bagi kalian belum tentu baik bagi Ratih. Ratih yang akan menjalani kehidupan rumah tangga nanti. Mana bisa ujug-ujug..."
"Itulah sebab kami akan segera mempertemukan kalian. Kalian bisa saling berkenalan, saling menjajagi, dan..." Ibunya masih bersikukuh membujuknya.
"Sudah, sudah! Tidak perlu panjang lebar. Persiapkan saja dirimu baik-baik. Kami sudah terlanjur bikin janji untuk mempertemukan kalian." Ayahnya yang berwatak tegas ikut bersuara.
Ratih sontak terdiam. Ia tidak ingin berdebat lebih lama lagi. Ia memilih mengunci diri di dalam kamar.
***
Di dalam kamar Ratih melampiaskan kekesalan hatinya pada benda-benda yang berada di dekatnya. Kaleng biskuit yang tergeletak di atas tempat tidur dibantingnya kuat-kuat. Bunyi ribut membuat dua ekor kucing yang sedang memadu kasih, tepat di bawah jendela kamar sontak terkejut dan berlari terbirit-birit.
Masih dengan hati kesal tangannya bergerak meraih ponsel, menelepon Anita.
"Nit, malam ini aku menginap di rumah kosmu. Ini emergency!"
***
"Daripada dijodohkan, mending kabur dari rumah, Nit!" Ratih berkata ketus seraya memeluk guling erat-erat.
Anita yang duduk di tepi ranjang menarik napas dalam-dalam. Dia memahami dan tahu betul bagaimana watak sahabatnya itu. Ratih type gadis pemberontak dan keras kepala.
"Niat orangtuamu itu baik, Ra. Mereka khawatir, di usia yang sudah matang --- maaf, kau belum juga memiliki pacar." Anita mencoba menenangkan hati Ratih.
"Tapi tidak harus seperti itu kan, Nit? Masa harus ada perjodohan segala. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?" Ratih menyipitkan satu matanya.
"Kalau boleh tahu, cowok mana yang akan dikenalkan kepadamu?" Hati-hati Anita menyelidik.
"Mana aku tahu! Orangtuaku cuma bilang kalau mereka sudah lama mengenal kedua orangtua cowok itu."
"Oh, itu bagus, dong!"
"Entahlah, Nit. Rasanya dunia ini sudah tidak aman lagi bagiku."
"Hush. Jangan bilang begitu. Dunia ini sangat indah dan penuh kejutan. Kau harus menikmatinya."
"Aku serius, Nit. Aku harus kabur!"
Sontak Anita terdiam.
***
Kabur dari rumah.
Itulah awal mula Ratih terdampar di rumah mewah ini. Semua atas rekomendasi Anita tentunya.
"Kalau mau kabur, ke sini saja. Kebetulan keluarga ini butuh asisten rumah tangga."
Begitu Anita mengarahkan dirinya seraya menyodorkan secarik kartu nama.
Ratih tersenyum lega. Paling tidak ia merasa terhindar dari rencana perjodohan itu.
Merasa sudah cukup melepas lelah, ia lantas memutuskan untuk beranjak menuju dapur, sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Mbok Jum.
"Sore nanti akan ada banyak tamu. Bantu simbok mempersiapkan segala sesuatunya, ya." Mbok Jum memberi tahu begitu Ratih muncul.
"Siap, Mbok!" Ratih menyahut antusias. Meski dalam hati sempat ketar-ketir sebab selama ini ia jarang-jarang turun ke dapur.
Tapi kali ini ia akan mencoba. Alih-alih belajar memasak pada Mbok Jum yang tampak sudah sangat mahir dan berpengalaman.
Menjelang sore semua pekerjaan dapur sudah beres. Jamuan untuk para tamu sudah terhidang rapi di atas meja.
"Kamu pasti lelah. Mandilah dulu. Setelah itu kamu boleh kembali ke ruangan ini. Siapa tahu Tuan Muda butuh bantuanmu untuk melayani tamu." Mbok Jum memberi perintah lagi.
***
Satu dua orang tamu tampak sudah berdatangan. Usai mandi Ratih menarik satu kursi dan duduk di balik pintu ruang tengah. Sesuai saran Mbok Jum ia harus berjaga-jaga, siapa tahu Tuan Muda  membutuhkan tenaganya.
Lima menit duduk berdiam diri, ia teringat ponselnya yang tertinggal di dalam kamar. Ia harus mengambilnya karena ingin segera menelepon Anita.
"Tunggu!"
Seseorang mencegah langkahnya yang siap terayun.
Majikannya. Pria muda itu berjalan menghampiri.
"Ada yang bisa saya bantu?" Ratih membetulkan posisi berdirinya.
"Tahu, tidak? Acara ini untuk apa?" Pria muda itu tersenyum ramah. Sontak Ratih mengernyitkan alis. Bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh majikannya.
"Hallo, Ratih! Bagaimana? Betah tinggal di rumah ini?"
Anita tiba-tiba muncul dari salah satu kamar. Ratih terlihat semakin kebingungan.
"Ini pesta untuk kalian berdua." Anita membentangkan kedua tangan, lalu merangkul pundak sahabatnya itu
"Pesta? Maksudmu?" Ratih menatap Anita tak berkedip.
"Sorry, my bestie. Aku lupa memberitahu mengenai hal ini. Ini rumah kakakku, Akbar, lelaki ganteng ini. Dialah yang sedianya akan dikenalkan kepadamu."
"Hallo, Ratih. Maaf atas kejutan ini. Btw, senang bisa kenal kamu dengan cara unik seperti ini." Pria muda yang ternyata kakak Anita itu masih mengembangkan senyum.
Mata Ratih terbelalak. Terutama ketika seorang perempuan paruh baya muncul dari salah satu kamar dengan pakaian bagus dan langkah anggun.
"Nah, kalau yang ini, Mamaku. Alias Mbok Jum." Anita tertawa renyah seraya menarik lengan Ratih dan mempertemukan tangan sahabatnya itu dengan tangan ibundanya.
Hampir copot jantung Ratih mendapati kenyataan ini.
"Terima kasih sudah menemani Tante seharian memasak di dapur." Perempuan paruh baya itu tersenyum manis ke arah Ratih.
Dan, ketika datang dua orang tamu terakhir yang amat dikenalnya, yakni ayah dan ibunya, Ratih benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
***
Malang, 10 November 2022
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H