"Sekarang istirahatlah dulu. Nanti setelah lelahmu hilang, kamu boleh menemui aku di dapur." Mbok Jum menepuk pundak Ratih perlahan lalu berlalu pergi.
Ratih meletakkan tasnya di atas meja. Sebuah cermin berukuran besar terpampang anggun di dinding kamar, tidak jauh dari jendela yang menghadap langsung ke arah taman.
Ratih berdiri di depan cermin itu. Mematut dirinya beberapa saat sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur.
Sembari meluruskan kaki, matanya yang bulat menyapu sekeliling ruangan.
Hm. Sebuah kamar yang cukup luas dan nyaman. Sejenak ia membatin. Tidak salahkah ini? Kamar ini terlalu mewah untuk seorang asisten rumah tangga seperti dirinya.
***
Masih terbaring di atas kasur, Ratih membiarkan pikirannya terlempar jauh ke kejadian kemarin malam. Saat dirinya bersitegang hebat dengan ayah dan ibunya.
"Papa dan Mama tidak bisa memaksaku untuk menerima perjodohan ini. Apalagi dengan laki-laki yang sama sekali tidak kukenal!" Ia berseru lantang.
"Dengar, Ratih. Calonmu ini pria baik-baik. Kami ini sahabat kedua orangtuanya. Jadi..." Ibunya mencoba meluluhkan hatinya yang kadung tersinggung.
"Ah, Ibu. Baik bagi kalian belum tentu baik bagi Ratih. Ratih yang akan menjalani kehidupan rumah tangga nanti. Mana bisa ujug-ujug..."
"Itulah sebab kami akan segera mempertemukan kalian. Kalian bisa saling berkenalan, saling menjajagi, dan..." Ibunya masih bersikukuh membujuknya.
"Sudah, sudah! Tidak perlu panjang lebar. Persiapkan saja dirimu baik-baik. Kami sudah terlanjur bikin janji untuk mempertemukan kalian." Ayahnya yang berwatak tegas ikut bersuara.