Seraya menabuh kenong tiada henti, ia menyanggupi permintaanku. Ia bahkan nyaris menyelesaikan pembangunan sendang padusan dalam kurun waktu satu malam.
Ya. Nyaris!
Kalau saja tidak terbersit kecurangan di dalam pikiranku.
Ayam-ayam kukeluarkan dari kandangnya. Ibu-ibu kuminta menumbuk padi beramai-ramai menggunakan lesung dan alu dengan ketukan bertalu-talu.
"Pagi sudah tiba, Lola! Waktumu telah habiiiiiiis!"
Aku berseru lantang. Penuh kemenangan.
***
Aroma wangi dupa menguar menusuk hidung. Aku masih duduk bersimpuh di atas lantai yang dingin. Tapi kali ini bukan lagi di lantai pendapa milik Mpu Purwa. Melainkan di area cungkup petilasan Ken Dedes yang rindang dan singup.
Beberapa lelaki berumur ikut duduk mengitariku. Mereka terdiam. Hanya memandangiku dengan mata tak berkedip.
"Watu kenong itu ternyata masih ada. Masih tersimpan rapi di sini." Suaraku keluar memecah keheningan. Juru kunci cungkup yang duduk tepat di sebelahku menganggukkan kepala.
Perlahan aku beranjak dari duduk, lalu melangkah ringan menuju sudut halaman cungkup di bagian paling kiri.
Sembari mengelus lembut permukaan batu berbentuk kenong bibirku berbisik lirih.