"Masih belum bertukar jarik, Nduk?" Suara Ibu membuatku menoleh. Aku tersenyum. Tipis. Setipis irisan kue 'tetel' buatan para biyada.
"Sebentar lagi utusan pengantin lelaki datang membawa seserahan untukmu, Nduk. Segeralah macak sing ayu." Ibu mengingatkan lagi. Dan itu membuat senyumku sirna seketika.
Ah, Ibu. Andai aku berani menyampaikan satu kalimat ini; aku sama sekali tidak mencintai Jaka Lola, lelaki yang bakal menjadi suamiku itu!
Tapi mana mungkin aku berani melakukannya? Sebagai seorang anak tentu aku wajib berbakti dan menjunjung nama baik orangtua. Terutama nama besar Ayahandaku, Mpu Purwa.
Satu-satunya orang yang bisa kuajak berunding hanyalah Raka. Laki-laki yang mengaku datang dari masa depan itu.
Ya, Raka.Â
Hanya dia yang tahu dan paham bagaimana perasaanku saat ini.
"Jadi apa yang harus kulakukan untuk menggagalkan pernikahanku, Ka?" Sembunyi-sembunyi aku menemui Raka yang menyamar sebagai tukang rawat kuda milik Ayah.
"Kau minta pendapatku, apakah itu berarti hatimu mulai terbuka untukku, Des?" Raka menatapku nakal. Wajahku sontak memerah padam.
"Ka, aku serius. Sebentar lagi utusan Jaka Lola datang. Tolong bantu aku." Mataku mulai ngembeng, berkaca-kaca.
"Air matamu adalah pedang yang mampu merajam hatiku menjadi serpihan-serpihan kristal."Â Raka masih menatapku. Bibirnya yang manis mengulum senyum.