"Semerbak wangi tubuhmu bak aroma kuncup kamboja yang belum tersentuh."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku yang gemetar.
"Lanjutkan." Juru kunci cungkup di sekitar pemakaman umum Dukuh Panawijen itu masih memanduku.
"Aku ingin mencintaimu dengan cara tak biasa, cara paling purba."
"Cukup!" Satu tepukan, lembut, mendarat di pundak kiriku. Membuat kedua mataku terbuka lagi.
"Apakah Gusti Kanjeng Ayu Ken Dedes kerap mendatangimu? Apakah beliau pernah mengatakan sesuatu padamu?" Juru kunci cungkup mencecar pertanyaan lagi. Aku mengangguk.
Dan, anggukan itu sontak membawaku terlempar jauh ke masa lalu.
***
Malam itu langit di atas Dukuh Panawijen terang benderang oleh bias cahaya puluhan obor yang menyala. Beberapa lelaki dewasa tampak sibuk di halaman pendapa. Sementara para ibu riweh memasak aneka ragam menu makanan di dapur.
Aku sendiri berdiri mematung di dekat jendela. Menyaksikan kesibukan demi kesibukan yang berlangsung dengan dada berdebar.
Menikah. Ya. Sebentar lagi aku akan menikah. Mengakhiri masa lajangku. Didaupkan dengan lelaki dari tlatah tanah Dinoyo. Sebuah tlatah yang terletak tidak terlalu jauh dari dukuh kelahiranku, Panawijen.