Seorang perempuan memencet bel rumah, sore itu, di waktu yang seharusnya kupergunakan untuk istirahat.
Perempuan itu memakai masker warna hitam, senada dengan gaun panjang yang dikenakannya. Kepalanya rapat tertutup kerudung.
Ketika aku membuka pintu dan hendak bertanya apa keperluannya, perempuan itu mendahului dengan mengatakan, "Hai, apa kabar doppelganger-ku?"
Doppelganger?
Aku membelakkan mata. Mengamati dengan saksama sosok perempuan yang berdiri di hadapanku itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Seolah paham apa yang tengah kupikirkan, perempuan itu melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya, dan itu sontak membuatku mundur beberapa langkah.
"Setelah mencarimu lebih dari seperempat abad, akhirnya kutemukan juga." Perempuan itu tersenyum lebar ke arahku. Ia lantas berjalan mendekat seraya merentangkan kedua tangan.
Kembali aku mundur beberapa langkah.
"Kau --- tidak suka bertemu denganku?" Perempuan itu menghentikan gerak kakinya. Rasa kecewa terpancar jelas dari sorot matanya yang redup.
Aku mengatur napas seraya menyandarkan punggung pada daun pintu. Bibirku terkatup rapat, tidak tahu harus berucap apa.
"Baiklah. Jika kau tidak menyukai kehadiranku, aku pamit pergi. Tapi aku yakin suatu hari nanti kau pasti akan merindukanku."
***
Di sore yang lain.
Aku mengeluhkan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya pada Jim, suamiku. Seperti biasa Jim menanggapi keluh kesahku dengan ringan.
"Sudah waktunya kau mencari asisten rumah tangga, Lisa."
"Oh, tidak, Jim! Aku bisa ... mm, maksudku, aku tidak ingin ada orang lain hadir di keluarga kita." Aku berkata bersungguh-sungguh.
Mendengar penuturanku Jim terkikik kecil, lalu tanpa menoleh ia berujar, "Itulah salah satu kelemahanmu, Lisa. Kau terlalu posesif. Bahkan untuk hal-hal yang belum jelas kebenarannya."
"Itu karena aku terlalu mencintaimu, Jim."
Huft. Sungguh sebuah pengakuan jujur yang amat memalukan.
Lengkingan si kembar menghentikan percakapan kami. Jim berdiri, mendekati dua gadis kecil yang tengah beradu mulut itu. Entah apa yang dikatakan lelaki konyol itu pada mereka, tahu-tahu si kembar menghambur ke arahku.
"Benar Mami punya doppelganger? Ayoo dong, tunjukkan! Jangan sembunyikan dari kami!"
***
Satu kata yang sangat kubenci dalam hidup ini adalah kata:Â menyerah. Sebab menyerah bagiku identik dengan menunjukkan sisi kelemahan manusia.
Namun menyerah ternyata tidak selamanya buruk. Adakalanya menyerah merupakan warning dari kondisi tubuh yang protes minta diistirahatkan.
Ya, aku nyaris tumbang akibat pekerjaan rumah yang seolah tiada habisnya. Mengurus dua bocah kembar hiperaktif bukanlah hal mudah. (Oh, kupikir kalian tidak akan mengerti sebelum mengalaminya sendiri).
"Jim, apakah seorang asisten rumah tangga bisa meringankan pekerjaanku?" Tanyaku ragu. Kali ini Jim menanggapi dengan serius.
"Kau memang butuh seorang asisten, Lisa. Akhir-akhir ini kau sensitif sekali. Dan, itu tidak baik bagi kesehatanmu." Jim merangkulku, mengelus lembut pundakku yang belakangan mulai menguncup.
Sesaat aku membenamkan kepala ke dalam pelukannya.
Sementara di luar gerimis masih berebut berjatuhan. Membasahi senja yang perlahan mulai meredup.
***
"Jadi kapan dia datang? Bagaimana kami harus memanggilnya nanti?" Ann menatapku lekat-lekat.
"Tentu saja kita akan panggil dia Miss! Aih, tumben aku lebih pintar dari kamu, Ann." Alice meleletkan lidah.
"Kalau kamu lebih pintar dari aku, coba tebak siapa nama asisten Mami itu nanti?" Ann mengerucutkan bibir.
Lagi. Keributan tak bisa dihindari. Ann dan Alice beradu mulut. Mereka baru terdiam ketika melihat Jim muncul bersama seseorang.
Dua kembar kami sontak berjeritan. Mereka sampai tersandung kursi saking antusiasnya berlari menyambut kedatangan ayahnya.
Sementara aku, dadaku berdegup kencang begitu melihat tamu yang berdiri di samping Jim.
"Hai, apa kabar, Nyonya? Bukan suatu kebetulan bukan jika kita dipertemukan lagi?"
Perempuan yang pernah mengaku sebagai doppleganger-ku itu, tersenyum penuh arti
***
"Jim, bisa kaujelaskan maksud dari semua ini?" Antara gugup dan marah aku menegur Jim.
"Hanya kebetulan saja, Lisa. Perempuan ini membaca iklan lowongan kerja yang kupasang di surat kabar. Ia lantas datang ke kantorku untuk melamar menjadi ART-mu."
"Tapi Jim ---"
Rupanya Jim tidak mengindahkan kata-kataku. Ia sibuk memperkenalkan ART baru kami pada anak-anak, lalu menunjukkan ruangan demi ruangan kepadanya. Dan, langkah mereka berakhir di meja makan.
Apa yang kukhawatirkan akhirnya terjadi. Anak-anak begitu mudahnya akrab dengan perempuan itu, yang keseluruhan fisik dan wajahnya sangat mirip denganku.
"Sebagai perkenalan akan kusiapkan makan malam istimewa untuk kalian." Kudengar perempuan itu berkata, renyah. Sontak anak-anak bersorak gembira.
"Sekalian buatkan kami banana flambe, ya. Aku kepingin tahu apakah Anda, mm, boleh kupanggil Miss?, --- lebih mahir dari Mami soal mengolah dessert." Ann merespon kata-kata perempuan itu sembari melirikku sekilas.
Saat itu, sungguh, aku berharap Jim menegur kelakuan tidak sopan Ann dengan mengatakan hal-hal baik tentang diriku. Bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan ibunya ini dalam hal mengurus rumah tangga, termasuk menyiapkan makan malam.
Tapi Jim tidak melakukannya. Ia tidak mengatakan apa-apa pada Ann. Ia lebih memilih ikut larut dalam kegembiraan menyambut ART baru kami.
"Taraaaa ... santap malam sudah siap!"
Tidak sampai tiga puluh menit seruan itu terdengar. Jim dan si kembar berebut menarik kursi lalu duduk manos mengitari meja.
Mereka makan bersama tanpa memedulikanku.
***
Aku bersiap pergi ketika terdengar bel rumah berdering nyaring. Terpaksa kuseret langkah menuju ruang tamu.
Tentu. Aku tidak bisa mengharapkan salah satu dari mereka --- Jim, si kembar, atau perempuan bergaun hitam itu beranjak membukakan pintu. Keempatnya terlalu asyik menikmati sajian makan malam.
Pintu sengaja kukuak sedikit. Terlihat seseorang berdiri menunggu. Ia memakai masker serta berjaket warna hitam.
"Siapa?" Tanyaku seraya melongokkan kepala. Orang itu berjalan mendekat, melepas maskernya perlahan.
Wajahnya yang tersorot sinar lampu membuatku sontak menutup kembali daun pintu dengan keras.
Blam!
"Lisa? Ada apa?" Jim tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. Ia meraih tubuhku yang gemetar.
"Kau melihatnya lagi? Maksudku --- doppleganger-mu itu?" Jim mengamati wajahku yang memucat. Aku mengangguk. Napasku memburu. Naik turun.
"Lisa, semua hanya pikiranmu saja. Doppleganger itu tidak pernah ada. Kaulihat?Sedari tadi anak-anak menunggumu di meja makan. Mereka ingin mengucapkan terima kasih atas masakanmu yang lezat." Jim membimbing langkahku menuju sofa.
"Lalu perempuan bergaun hitam tadi?" Mataku nanar menyapu sekeliling.
"Tidak ada orang lain di rumah ini selain kita berempat, Lisa."
"Tapi, Jim..."
"Boleh kusarankan sesuatu? Mungkin kau butuh seorang psikiater, Lisa. Aku bisa mengantarmu sekarang."
Jim benar. Aku tidak bisa membiarkan halusinasiku tentang doppleganger ini terus menerus menghantui. Ada yang tidak beres dengan otakku.
Kuputuskan menerima tawaran Jim. Akupun bersiap-siap menukar pakaian.
Ditemani Jim aku memasuki kamar tidur.
Saat berdiri di depan cermin yang menempel pada pintu lemari, kembali serangan doppleganger itu muncul.
Kulihat dengan jelas, di dalam cermin berdiri seseorang dengan postur dan wajah semirip aku. Ia tengah menangis, berurai air mata.
Padahal seingatku, saat itu aku sedang tertawa lebar. Selebar-lebarnya.Â
***
Malang, 11 Juni 2022
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI