"Lisa, semua hanya pikiranmu saja. Doppleganger itu tidak pernah ada. Kaulihat?Sedari tadi anak-anak menunggumu di meja makan. Mereka ingin mengucapkan terima kasih atas masakanmu yang lezat." Jim membimbing langkahku menuju sofa.
"Lalu perempuan bergaun hitam tadi?" Mataku nanar menyapu sekeliling.
"Tidak ada orang lain di rumah ini selain kita berempat, Lisa."
"Tapi, Jim..."
"Boleh kusarankan sesuatu? Mungkin kau butuh seorang psikiater, Lisa. Aku bisa mengantarmu sekarang."
Jim benar. Aku tidak bisa membiarkan halusinasiku tentang doppleganger ini terus menerus menghantui. Ada yang tidak beres dengan otakku.
Kuputuskan menerima tawaran Jim. Akupun bersiap-siap menukar pakaian.
Ditemani Jim aku memasuki kamar tidur.
Saat berdiri di depan cermin yang menempel pada pintu lemari, kembali serangan doppleganger itu muncul.
Kulihat dengan jelas, di dalam cermin berdiri seseorang dengan postur dan wajah semirip aku. Ia tengah menangis, berurai air mata.
Padahal seingatku, saat itu aku sedang tertawa lebar. Selebar-lebarnya.Â