Ya, aku nyaris tumbang akibat pekerjaan rumah yang seolah tiada habisnya. Mengurus dua bocah kembar hiperaktif bukanlah hal mudah. (Oh, kupikir kalian tidak akan mengerti sebelum mengalaminya sendiri).
"Jim, apakah seorang asisten rumah tangga bisa meringankan pekerjaanku?" Tanyaku ragu. Kali ini Jim menanggapi dengan serius.
"Kau memang butuh seorang asisten, Lisa. Akhir-akhir ini kau sensitif sekali. Dan, itu tidak baik bagi kesehatanmu." Jim merangkulku, mengelus lembut pundakku yang belakangan mulai menguncup.
Sesaat aku membenamkan kepala ke dalam pelukannya.
Sementara di luar gerimis masih berebut berjatuhan. Membasahi senja yang perlahan mulai meredup.
***
"Jadi kapan dia datang? Bagaimana kami harus memanggilnya nanti?" Ann menatapku lekat-lekat.
"Tentu saja kita akan panggil dia Miss! Aih, tumben aku lebih pintar dari kamu, Ann." Alice meleletkan lidah.
"Kalau kamu lebih pintar dari aku, coba tebak siapa nama asisten Mami itu nanti?" Ann mengerucutkan bibir.
Lagi. Keributan tak bisa dihindari. Ann dan Alice beradu mulut. Mereka baru terdiam ketika melihat Jim muncul bersama seseorang.
Dua kembar kami sontak berjeritan. Mereka sampai tersandung kursi saking antusiasnya berlari menyambut kedatangan ayahnya.
Sementara aku, dadaku berdegup kencang begitu melihat tamu yang berdiri di samping Jim.