Perlahan aku membalikkan badan. Dan, tak terelakkan mata kamipun bertemu.
"Namaku Ryan. Namamu?" Lelaki tak kukenal itu memperkenalkan diri.
"Aku --- Lingsir."
"Hm. Lingsir. Sungguh nama yang sangat bagus dan --- Â unik!"
Aku menelan ludah. Baru kali ini ada orang memuji namaku. Biasanya, begitu mendengar nama Lingsir kusebutkan, siapa pun ia pasti akan langsung mengernyitkan dahi.
Tapi kemudian aku memilih mengabaikan kata-kata bernada pujian yang keluar dari bibir laki-laki asing itu. Kakiku bergerak perlahan meninggalkan bahu jembatan, menuju taman yang terletak di sisi kanan jalan. Lalu dengan santai kuhempaskan diri di atas rerumputan yang mulai dibasahi embun, menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Kukira lelaki bernama Ryan itu akan segera pergi. Ternyata tidak. Ia membuntutiku, ikut duduk berselonjor kaki tepat di hadapanku.
"Malam yang cerah bukan?" Ia mulai membuka percakapan.
"Malam yang merdeka." Aku menyahut .
"Tapi hatimu belum." Ia menimpali seraya tertawa.
"Apa maksudmu?" Aku mulai merasa jengah. Laki-laki bernama Ryan ini, menurutku, sungguh sangat menyebalkan, dan sok tahu.