Jika kau kehilangan cinta, maka kelak akan datang cinta lain yang lebih baik, yang siap mengisi kekosongan hatimu.
Berkali aku membaca quote itu untuk menyemangati diriku sendiri.
Ya, aku tidak boleh menyerah begitu saja hanya gara-gara cinta yang terputus di tengah jalan. Meski untuk bangkit dari keterpurukan itu, sungguh, terasa amat sulit.Â
Sebab hatiku terlanjur kuberikan sepenuhnya hanya kepada Mas Joko.
Ya, Mas Joko. Di mataku ia sosok yang sangat sempurna. Amat sangat sempurna. Nyaris tak kulihat kekurangan apa pun melekat pada dirinya.
Tapi, sudahlah. Percuma membahas kebaikan dan kesempurnaan seseorang yang pada kenyataannya tidak bisa menjadi milik kita. Maka cukup sampai di sini. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin memulai hidupku dari awal lagi.
"Kau sedang menunggu seseorang?" mendadak sebuah suara menegur, dari belakangku.
"A-ku? Oh, tentu saja tidak!" Gagap aku menjawab.
"Hati-hati. Kakimu sudah menginjak bahu jembatan paling tepi. Kau bisa terjatuh. Kecuali --- kalau kau memang berniat untuk bunuh diri." Â
Busyet, eh, maksudku, siapa pula laki-laki yang tiba-tiba muncul dan mengkhawatirkan keselamatanku?
Perlahan aku membalikkan badan. Dan, tak terelakkan mata kamipun bertemu.
"Namaku Ryan. Namamu?" Lelaki tak kukenal itu memperkenalkan diri.
"Aku --- Lingsir."
"Hm. Lingsir. Sungguh nama yang sangat bagus dan --- Â unik!"
Aku menelan ludah. Baru kali ini ada orang memuji namaku. Biasanya, begitu mendengar nama Lingsir kusebutkan, siapa pun ia pasti akan langsung mengernyitkan dahi.
Tapi kemudian aku memilih mengabaikan kata-kata bernada pujian yang keluar dari bibir laki-laki asing itu. Kakiku bergerak perlahan meninggalkan bahu jembatan, menuju taman yang terletak di sisi kanan jalan. Lalu dengan santai kuhempaskan diri di atas rerumputan yang mulai dibasahi embun, menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Kukira lelaki bernama Ryan itu akan segera pergi. Ternyata tidak. Ia membuntutiku, ikut duduk berselonjor kaki tepat di hadapanku.
"Malam yang cerah bukan?" Ia mulai membuka percakapan.
"Malam yang merdeka." Aku menyahut .
"Tapi hatimu belum." Ia menimpali seraya tertawa.
"Apa maksudmu?" Aku mulai merasa jengah. Laki-laki bernama Ryan ini, menurutku, sungguh sangat menyebalkan, dan sok tahu.
Ya. Tahu apa ia tentang diriku? Tahu apa ia tentang hatiku?
"Jangan memasang muka masam begitu. Aku hanya berusaha menebak. Jika hatimu memang sudah merdeka, tentu kau tidak berada di sini, membiarkan ragamu menggigil di tengah malam seperti ini."
"Aku --- hanya ingin melupakan."
Berkata begitu tiba-tiba saja mataku basah. Mungkin aku bingung menerjemahkan antara kata merdeka dan melupakan.
"Pulanglah, Nona. Pulanglah ke rumahmu yang hangat. Merdekakan hatimu dengan belajar ikhlas."
Ryan berdiri. Mengibaskan belakang celananya yang kotor. Lalu mengarahkan pandang tepat ke pusat manik mataku.
"Aku juga pernah patah hati. Dan, aku menyesal terlanjur melakukannya." Ryan masih geming menatapku.
"Memang apa yang kau sesali?" Aku mencibir.
"Aku menyesal karena tidak mau belajar ikhlas. Aku terburu menganiaya diriku sendiri."
"Maksudmu?"
"Aku terjun dari jembatan ini, Nona. Tepatnya tujuh hari lalu."
Sontak aku menggeser dudukku, beberapa inci.
"Ya. Sepertimu. Aku pernah bertekat bunuh diri. Sayangnya aku benar-benar melakukannya."
Mendadak aku kehilangan suara.
"Dengar, Nona Lingsir. Tidak ada tempat bagi orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri. Kau tahu? Ruhku sampai saat ini masih kebingungan, melayang ke sana ke mari tak tentu arah karena tidak tahu harus tinggal di mana."
Dalam keremangan cahaya bulan, aku bisa melihat tubuh Ryan perlahan memudar menyatu dengan kabut.
***
Malang, 16 Agustus 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H