Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tumbal Tayub Selendang Rindu

17 Juli 2021   19:00 Diperbarui: 5 Agustus 2024   17:44 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu Pakde Diran --- begitu aku memanggilnya, datang berkunjung ke rumah kami. Ia membawa seperangkat kebaya pengantin lengkap dengan kain panjang bermotif beras wutah. Juga sekantung plastik entah berisi apa.

Usai berbincang sebentar dengan Ibu, Pakde Diran memanggilku. Memintaku untuk segera memakai setelan kebaya pengantin yang sengaja dibawanya itu. Semula aku ingin menolak. Tapi sorot mata Ibu membuatku surut.

"Sudahlah Mira. Manut saja apa kata Pakdemu. Bukankah kamu ingin menjadi penari tayub terkenal?" Ibu, yang bukan Ibu kandungku itu menegaskan. Ia lantas membantu melilitkan kain panjang pada tubuhku yang sintal.

Saat memasang kancing kebaya terakhir aku menoleh ke arah Pakde Diran yang berdiri tidak jauh dari jendela. Lelaki berumur itu tersenyum lebar menatapku. Tapi senyum itu, sungguh, di mataku terlihat amat sangat mengerikan.

Instingku pun bekerja cepat. Jangan-jangan Pakde Diran tengah merencanakan sesuatu dengan mengiming-imingi ingin membantuku menaikkan pamor sebagai penari tayub.

Ah, entahlah.

"Sudah beres, Nduk? Kalau sudah, kita berangkat sekarang!" Pakde Diran membuang sisa puntung rokok di tangannya. Aku mengangguk kecil. Lalu tanpa berani menatap mata Ibu aku bertanya, "Bu, sebenarnya Mira akan dibawa ke mana sama Pakde?"

"Wis talah, Nduk, manuto wae! Jangan banyak tanya!" Ibu menjawab ketus. Sontak mulutku kembali terkunci.

Ya, lagi-lagi aku harus diam, tidak berhak membantah satu kata pun. Aku harus manut apa kata mereka --- Ibu dan Pakde Diran. 

Bahkan ketika Pakde Diran membawaku mbrasak-mbrasak melewati semak belukar, melintasi jalan setapak yang becek dan licin, aku masih juga tak mampu menolak.

***

Sungguh, aku seperti seekor kerbau yang dicokok ujung hidungnya.

"Lewat sini!" Suara Pakde Diran membuatku tertegun. Melalui cahaya rembulan yang mengintip samar-samar dari balik rerimbun pepohonan mataku menyapu sekeliling.

Hah, kami berada di pemakaman tua?

Kakiku sontak gemetar. Tapi Pakde Diran menggamit tanganku agar aku gegas mengikutinya.

"Bersimpuh!"

Tepat di depan kijing berukuran besar Pakde Diran tegas memberi perintah. Lagi-lagi, dengan kaki masih gemetar aku menurut.

Seraya bersedeku lutut aku memberanikan diri melirik sekilas pada makam yang membujur di hadapanku. Makam berukuran besar yang pada lempeng batu nisannya tertera sebuah nama. D.A. Chavid.

D.A. Chavid? Siapa dia? Mengapa Pakde Diran terlihat sangat mengagungkan makam ini dengan menyuruhku bersimpuh?

Begitu banyak pertanyaan bersliweran di benakku. Tapi tak satu pun yang mampu kujawab.

Perhatianku ternyata lebih teralih pada perilaku aneh Pakde Diran. Lelaki berpakaian serba hitam dan berudeng kain wulung itu sibuk menabur bunga-bunga di atas makam D.A. Chavid.

Ia juga membakar segenggam kemenyan yang dikeluarkan dari saku bajunya. Bunyi gemeretak disertai bau menyengat membuat bulu kudukku tiba-tiba saja berdiri.

Angin malam berdesir perlahan. Menyentuh wajahku yang tertunduk layu. Sementara Pakde Diran belum beranjak dari ritualnya. Ia tampak khusuk masyuk membaca mantra-mantra. Nada suaranya terdengar tak beraturan, naik turun.

Di langit rembulan berkali hilang timbul. Seperti bola yang hanyut di tengah lautan.

"Eyang, saya datang membawa kembang tujuh rupa kesukaanmu. Juga seorang gadis masih perawan sebagai bunga penari grup tayub Selendang Rindu warisanmu." Pakde Diran berkata dengan suara bergetar. Dadaku sontak berdegup kencang.

Bunga penari tayub? Hatiku mulai was-was. Bukankah selama ini --- sepanjang yang kutahu, siapa pun yang didapuk menjadi bunga penari di grup Tayub Selendang Rindu selalu mengalami kejadian tragis yang berujung pada kematian. Seperti yang menimpa Yu Katinem, Yu Darsih, Yu Rantini, dan entah siapa lagi, semuanya tidak berumur panjang!

Aku mulai mencurigai sesuatu. Apakah Pakde Diran sengaja menjadikan diriku sebagai tumbal seperti yang sudah-sudah untuk membangkitkan kejayaan grup Tayub Selendang Rindu yang kian hari kian meredup?

Tubuhku menggigil. Tidak! Aku tidak ingin menjadi bulan-bulanan ambisi lelaki yang berjuluk dukun tiban ini.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Kabur dari pemakaman ini? Sepertinya terlambat. 

Kecuali, ya, kecuali aku harus berpura-pura manut dulu agar bisa mengetahui niat Pakde Diran sesungguhnya.

Mulailah aku menjalankan aktingku. Ketika rembulan menyusup di balik segumpal awan, sontak aku menggelosohkan badan, menjatuhkan diri di atas pundak Pakde Diran.

"Duhai, terima kasih Eyang Chavid. Engkau sudah menerima permohonan kami. Saya berjanji akan meneruskan warisanmu dengan sepenuh jiwa."

Melihat tubuhku melunglai, Pakde Diran berseru girang. Ia mengira sesembahan dan mantra-mantra yang dibacanya telah sampai di telinga junjungannya.

Saat Pakde Diran membaringkan tubuhku di sisi makam, klap! Seberkas cahaya jatuh tepat di wajahku.

Aku pun menyeringai.

***
Sebelum babak beksan keprajan dimulai, Pakde Diran berjalan menghampiriku. Mengingatkan apakah aku sudah menyelipkan jimat kembang kantil di balik kutangku. Aku mengangguk.

"Kau harus bisa membuat Mas Mantri lebih memilihmu ketimbang Tari --- penari dari grup tayub desa sebelah yang menjadi saingan kita."

Aku mengangguk lagi.

Lelaki yang belakangan kuketahui bukan Pakdeku, melainkan kekasih gelap Ibu tiriku itu tampak tersenyum. Senyum penuh kepuasan.

Ya. Ia merasa puas melihat kebodohanku yang hingga sejauh ini masih juga menuruti segala perintahnya.

***

Gending beksan mengalun semakin rampak. Tampak Mas Mantri sudah mengalungkan selendangnya dan menandak-nandak penuh semangat. Geyol- geyol sana sini mengikuti irama kendang.

Aku pun bersiap-siap turun arena ketika seseorang dengan tidak sabar mendorong tubuhku tepat di hadapan Mas Mantri.

"Lakukan sesuai rencana kita, Mas. Peluk aku ..." bisikku di telinga Mas Mantri, lelaki yang sebenarnya diam-diam sudah lama menjalin hubungan denganku itu. Mas Mantri mengedipkan sebelah matanya. Lalu meraih pinggangku dan menjatuhkan tubuhku ke dalam rengkuhannua. Sontak sorak sorai dan suitan penonton pun membahana.

Malam itu orang-orang sebalai desa menjadi saksi, bahwa Mas Mantri jelas-jelas lebih memilih aku ketimbang Tari, penari tayub dari desa sebelah.

***
"Kau tidak boleh menikah dengan Mas Mantri, Mira! Tugasmu hanya membuatnya jatuh cinta. Itu saja!" Pakde Diran menggelandangku menuju area pemakaman tua itu lagi. Sampur yang melilit pinggangku ditariknya kuat-kuat.

"Jadi itu yang membuat Pakde menghasut ibunya Mas Mantri agar tidak menerimaku?" Aku menatapnya geram. Pakde Diran terkekeh.

"Lagi pula kau sudah menjadi milik Eyang Chavid, Mira. Dan, malam ini arwah leluhurku itu meminta imbalan darimu. Kau harus menyerahkan kesucianmu!"

Belum sempat aku menjawab mendadak tubuh Pakde Diran bergetar hebat. Lalu dengan ganas ia menubrukku.

"Lepaskan! Kau lelaki pembohong! Lelaki setan!" Aku berteriak sekeras mungkin.

Tapi mana ada yang mendengar teriakanku? Mayat-mayat di pekuburan tua ini tidak mungkin bisa bangun menolongku, bukan?

***
Ah, sudah lama aku ingin melakukan ini. Menghabiskan waktu dengan melukis senja yang mengintip dari jendela ruang praktik yang tak pernah kututup.

Seseorang, lelaki muda, berjalan terhuyung didampingi oleh asistenku memasuki ruangan. Gegas aku merapikan kuas-kuas yang tercecer di atas meja.

"Akhirnya kita bertemu di sini. Kita akan menari beksan lagi, bukan?" Lelaki muda itu tersenyum. Tangannya yang lembut terulur, menyerahkan selembar kain sampur ke arahku.

"Tentu. Kita akan menari setiap hari di sini. Sepuasmya. Tapi sebelum itu maukah kau kuantar ke kamarmu?" Aku membalas senyumannya. Ia menurut. Sangat menurut. Bahkan ketika aku memintanya untuk meminum obat penenang, ia sama sekali tidak menolak.

Ketika ia sudah terlelap di ranjangnya yang bersprei putih, seorang perempuan paruh baya mendekatiku.

"Terima kasih sudah membuatnya tenang. Anak saya mengalami gangguan jiwa sejak kekasihnya tewas dibunuh."

Aku mengangguk. Berita semacam ini sudah samgat sering aku dengar.

"Oh, ya. Boleh saya tahu siapa nama dokter?" Ibu itu bertanya pelan. Matanya tak surut memandangku.

"Nama saya Mira. M-i-r-a. Sebelum menjadi dokter spesialis gangguan jiwa di klinik terpencil ini, saya pernah menjadi penari."

"Pe-nari?"

""Ya, penari. Penari Tayub Selendang Rindu."

Mendadak wajah ibu paruh baya itu memucat pasi.

Tawaku pun memburai. Pecah.

***
Malang, 17 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun