Saat Pakde Diran membaringkan tubuhku di sisi makam, klap! Seberkas cahaya jatuh tepat di wajahku.
Aku pun menyeringai.
***
Sebelum babak beksan keprajan dimulai, Pakde Diran berjalan menghampiriku. Mengingatkan apakah aku sudah menyelipkan jimat kembang kantil di balik kutangku. Aku mengangguk.
"Kau harus bisa membuat Mas Mantri lebih memilihmu ketimbang Tari --- penari dari grup tayub desa sebelah yang menjadi saingan kita."
Aku mengangguk lagi.
Lelaki yang belakangan kuketahui bukan Pakdeku, melainkan kekasih gelap Ibu tiriku itu tampak tersenyum. Senyum penuh kepuasan.
Ya. Ia merasa puas melihat kebodohanku yang hingga sejauh ini masih juga menuruti segala perintahnya.
***
Gending beksan mengalun semakin rampak. Tampak Mas Mantri sudah mengalungkan selendangnya dan menandak-nandak penuh semangat. Geyol- geyol sana sini mengikuti irama kendang.
Aku pun bersiap-siap turun arena ketika seseorang dengan tidak sabar mendorong tubuhku tepat di hadapan Mas Mantri.
"Lakukan sesuai rencana kita, Mas. Peluk aku ..." bisikku di telinga Mas Mantri, lelaki yang sebenarnya diam-diam sudah lama menjalin hubungan denganku itu. Mas Mantri mengedipkan sebelah matanya. Lalu meraih pinggangku dan menjatuhkan tubuhku ke dalam rengkuhannua. Sontak sorak sorai dan suitan penonton pun membahana.