Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tumbal Tayub Selendang Rindu

17 Juli 2021   19:00 Diperbarui: 5 Agustus 2024   17:44 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin malam berdesir perlahan. Menyentuh wajahku yang tertunduk layu. Sementara Pakde Diran belum beranjak dari ritualnya. Ia tampak khusuk masyuk membaca mantra-mantra. Nada suaranya terdengar tak beraturan, naik turun.

Di langit rembulan berkali hilang timbul. Seperti bola yang hanyut di tengah lautan.

"Eyang, saya datang membawa kembang tujuh rupa kesukaanmu. Juga seorang gadis masih perawan sebagai bunga penari grup tayub Selendang Rindu warisanmu." Pakde Diran berkata dengan suara bergetar. Dadaku sontak berdegup kencang.

Bunga penari tayub? Hatiku mulai was-was. Bukankah selama ini --- sepanjang yang kutahu, siapa pun yang didapuk menjadi bunga penari di grup Tayub Selendang Rindu selalu mengalami kejadian tragis yang berujung pada kematian. Seperti yang menimpa Yu Katinem, Yu Darsih, Yu Rantini, dan entah siapa lagi, semuanya tidak berumur panjang!

Aku mulai mencurigai sesuatu. Apakah Pakde Diran sengaja menjadikan diriku sebagai tumbal seperti yang sudah-sudah untuk membangkitkan kejayaan grup Tayub Selendang Rindu yang kian hari kian meredup?

Tubuhku menggigil. Tidak! Aku tidak ingin menjadi bulan-bulanan ambisi lelaki yang berjuluk dukun tiban ini.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Kabur dari pemakaman ini? Sepertinya terlambat. 

Kecuali, ya, kecuali aku harus berpura-pura manut dulu agar bisa mengetahui niat Pakde Diran sesungguhnya.

Mulailah aku menjalankan aktingku. Ketika rembulan menyusup di balik segumpal awan, sontak aku menggelosohkan badan, menjatuhkan diri di atas pundak Pakde Diran.

"Duhai, terima kasih Eyang Chavid. Engkau sudah menerima permohonan kami. Saya berjanji akan meneruskan warisanmu dengan sepenuh jiwa."

Melihat tubuhku melunglai, Pakde Diran berseru girang. Ia mengira sesembahan dan mantra-mantra yang dibacanya telah sampai di telinga junjungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun