Angin malam berdesir perlahan. Menyentuh wajahku yang tertunduk layu. Sementara Pakde Diran belum beranjak dari ritualnya. Ia tampak khusuk masyuk membaca mantra-mantra. Nada suaranya terdengar tak beraturan, naik turun.
Di langit rembulan berkali hilang timbul. Seperti bola yang hanyut di tengah lautan.
"Eyang, saya datang membawa kembang tujuh rupa kesukaanmu. Juga seorang gadis masih perawan sebagai bunga penari grup tayub Selendang Rindu warisanmu." Pakde Diran berkata dengan suara bergetar. Dadaku sontak berdegup kencang.
Bunga penari tayub? Hatiku mulai was-was. Bukankah selama ini --- sepanjang yang kutahu, siapa pun yang didapuk menjadi bunga penari di grup Tayub Selendang Rindu selalu mengalami kejadian tragis yang berujung pada kematian. Seperti yang menimpa Yu Katinem, Yu Darsih, Yu Rantini, dan entah siapa lagi, semuanya tidak berumur panjang!
Aku mulai mencurigai sesuatu. Apakah Pakde Diran sengaja menjadikan diriku sebagai tumbal seperti yang sudah-sudah untuk membangkitkan kejayaan grup Tayub Selendang Rindu yang kian hari kian meredup?
Tubuhku menggigil. Tidak! Aku tidak ingin menjadi bulan-bulanan ambisi lelaki yang berjuluk dukun tiban ini.
Tapi apa yang bisa kulakukan? Kabur dari pemakaman ini? Sepertinya terlambat.Â
Kecuali, ya, kecuali aku harus berpura-pura manut dulu agar bisa mengetahui niat Pakde Diran sesungguhnya.
Mulailah aku menjalankan aktingku. Ketika rembulan menyusup di balik segumpal awan, sontak aku menggelosohkan badan, menjatuhkan diri di atas pundak Pakde Diran.
"Duhai, terima kasih Eyang Chavid. Engkau sudah menerima permohonan kami. Saya berjanji akan meneruskan warisanmu dengan sepenuh jiwa."
Melihat tubuhku melunglai, Pakde Diran berseru girang. Ia mengira sesembahan dan mantra-mantra yang dibacanya telah sampai di telinga junjungannya.