Telpon dari Ibu kembali berdering. Mengabarkan kondisi terkini Bapak.
"Bapakmu sakit, Jeng. Pulanglah!"
"Tapi Bu ..." aku sengaja menghentikan kalimatku.
"Iya, Ibu paham. Tapi ini demi kesehatan Bapakmu, Nduk. Pulanglah." Sekali lagi Ibu membujukku.
"Baiklah, Bu." Akhirnya aku mengalah. Sekalipun --- ya, sekalipun dengan hati yang terasa amat berat.
***
Aku segera menyampaikan perihal kepulanganku pada Mas Pram. Tentu saja ia dengan senang hati memberi izin. Apalagi sejak dulu Mas Pram berharap hubungan kami --- antara aku dan Bapak yang merenggang kembali pulih.
"Bapak pasti merindukanmu, Jeng. Apalagi kau adalah anak satu-satunya. Jadi tunggu apalagi? Pulanglah." Mas Pram tersenyum seraya menyentuh pundakku dengan lembut. Sejenak jantungku berdegup kencang. Â
Benarkah Bapak merindukanku? Benarkah? Setelah pertengkaran hebat kami di malam itu yang berujung Bapak tega mengusirku dengan kalimat amat melukai.
Kembali ingatanku mengembara pada peristiwa beberapa tahun silam.
Masalahnya pada Bapak, ia tidak menyetujui hubunganku dengan Mas Pram. Pria yang berhasil membuatku menemukan kembali cinta yang hilang. Pria yang di mata Bapak tidak bisa diandalkan karena terlalu sederhana.
"Menikahlah dengan lelaki yang tepat, Jeng! Bukan dengan lelaki yang tidak jelas asal-usul dan pekerjaannya!" tegur Bapak sinis membuatku memilih berlari mengunci diri di dalam kamar. Dan, nyaris seharian itu aku tidak menampakkan diri. Aku sangat tersinggung dengan kata-kata yang barusan dilontarkan oleh Bapak.
Ah, Bapak. Ia hanya melihat sepintas jati diri Mas Pram. Bapak memang selalu begitu. Selalu menilai seseorang dari penampilannya saja.
Kukira jika aku memilih Mas Pram, itu adalah tindakan tepat. Ia sosok pria yang baik. Apa adanya. Pekerja keras. Di balik kesibukannya sebagai mahasiswa tingkat akhir Mas Pram masih nyambi kerja di sebuah penerbitan sebagai tenaga free lance. Barangkali kondisinya yang belum mapan itulah yang membuat Bapak meragukan masa depannya.
"Bapakmu berniat baik, Jeng ..." Ibu mendatangiku yang masih duduk meringkuk di dalam kamar. Aku membisu.
"Kalau dia tidak menurut apa kataku, suruh minggat sekalian! Biarkan dia pergi dari rumah ini dan menikah dengan laki-laki pilihannya itu. Tapi konsekuensinya, jangan menganggap aku sebagai Ayahnya lagi!" Seruan Bapak di ruang tengah, sungguh --- telah merenggut sebagian harga diriku.
***
Motor melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi. Sesekali rodanya oleng ke kanan dan ke kiri mewakili perasaanku. Sementara air mata sudah sejak tadi berebut berjatuhan membasahi pipi.
Bapak sudah mengusirku. Ya, mengusirku! Lantas ke mana aku harus pergi?
Harapanku satu-satunya hanyalah Mas Pram. Maka meluncurlah motor yang kukendarai ke rumah kontrakannya.
"Tenangkan diri sejenak, Jeng. Banyak-banyak beristigfar. Setelah itu kuantar kau pulang, ya. Aku akan bicara dengan Bapak."
Tutur lembut dan kesabaran Mas Pram membuat hatiku luluh. Api yang semula tersulut di dalam dada perlahan mendingin. Niat baik pria yang akhirnya benar-benar menjadi suamiku itu tidak mampu lagi kutolak. Tanpa menunggu lama, hanya berselang beberapa menit aku manut ketika dibonceng pulang untuk menemui Bapak.
Tapi sudah bisa diduga, jangankan menyambut uluran tangan Mas Pram, menatap wajahnya saja Bapak tidak sudi. Perlakuan itu tentu saja sangat melukai perasaanku.
Kembali kami pergi --- lebih tepatnya diusir dengan hati sangat terhina.
"Jeng, tiket kereta sudah kupesankan. Berkemaslah." Suara Mas Pram membuyarkan sederet kenangan pahit yang tiba-tiba saja berebut melintas di benakku.
***
Seharusnya aku tidak pulang. Ya, seharusnya.
Aku tiba lebih cepat dari perkiraan. Agak ragu langkahku memasuki halaman rumah yang luas. Di samping kolam ikan kakiku terhenti.
Mataku tertuju ke arah jendela berukuran besar. Sudah berapa lama aku tidak melihat tirai kupu tarung berwarna hijau pupus itu? Juga taman yang dipenuhi bunga mawar aneka warna, yang terletak tepat di samping kamar tidurku. Tiga tahun? Yup, kurasa lebih.
Langkah kaki kembali mengayun. Tidak ada yang menyambutku. Rumah tampak lengang.
Aku langsung mendorong daun pintu yang tidak terkunci. Mataku terbelalak saat menyaksikan perabot di dalam rumah tetap tertata rapi seperti dulu. Posisinya tidak ada yang berubah. Sama persis seperti saat aku masih menjadi penghuni rumah ini.
"Syukurlah, Jeng. Akhirnya kau pulang juga!" suara Ibu mengagetkanku. Perempuan paruh baya itu gegas menghampiri, meraih tanganku dan membimbingku menuju kamar tidur utama.
Di sana, di atas ranjang bersprei putih aku melihat tubuh Bapak tergolek lemah. Aku berlari memeluknya. Tapi Bapak sama sekali tidak bereaksi.
Aku terpekur. Seharusnya aku tidak pulang hari ini. Ya, seharusnya! Seharusnya aku mampu mengalahkan egoku untuk gegas menemui Bapak di hari-hari sebelumnya.Â
Di mana Bapak masih bisa membuka mata, menggerakkan bibir, dan memarahiku sembari bertanya lantang, "Hai, putriku yang keras kepala! Kenapa kau tidak pernah mengabari Bapakmu ini jikalau laki-laki pilihanmu itu telah berhasil membuat hidupmu bahagia?"
Ah, Bapak. Maafkan aku.
***
Malang, 08 Mei 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI