"Jeng, tiket kereta sudah kupesankan. Berkemaslah." Suara Mas Pram membuyarkan sederet kenangan pahit yang tiba-tiba saja berebut melintas di benakku.
***
Seharusnya aku tidak pulang. Ya, seharusnya.
Aku tiba lebih cepat dari perkiraan. Agak ragu langkahku memasuki halaman rumah yang luas. Di samping kolam ikan kakiku terhenti.
Mataku tertuju ke arah jendela berukuran besar. Sudah berapa lama aku tidak melihat tirai kupu tarung berwarna hijau pupus itu? Juga taman yang dipenuhi bunga mawar aneka warna, yang terletak tepat di samping kamar tidurku. Tiga tahun? Yup, kurasa lebih.
Langkah kaki kembali mengayun. Tidak ada yang menyambutku. Rumah tampak lengang.
Aku langsung mendorong daun pintu yang tidak terkunci. Mataku terbelalak saat menyaksikan perabot di dalam rumah tetap tertata rapi seperti dulu. Posisinya tidak ada yang berubah. Sama persis seperti saat aku masih menjadi penghuni rumah ini.
"Syukurlah, Jeng. Akhirnya kau pulang juga!" suara Ibu mengagetkanku. Perempuan paruh baya itu gegas menghampiri, meraih tanganku dan membimbingku menuju kamar tidur utama.
Di sana, di atas ranjang bersprei putih aku melihat tubuh Bapak tergolek lemah. Aku berlari memeluknya. Tapi Bapak sama sekali tidak bereaksi.
Aku terpekur. Seharusnya aku tidak pulang hari ini. Ya, seharusnya! Seharusnya aku mampu mengalahkan egoku untuk gegas menemui Bapak di hari-hari sebelumnya.Â
Di mana Bapak masih bisa membuka mata, menggerakkan bibir, dan memarahiku sembari bertanya lantang, "Hai, putriku yang keras kepala! Kenapa kau tidak pernah mengabari Bapakmu ini jikalau laki-laki pilihanmu itu telah berhasil membuat hidupmu bahagia?"
Ah, Bapak. Maafkan aku.