Ah, Bapak. Ia hanya melihat sepintas jati diri Mas Pram. Bapak memang selalu begitu. Selalu menilai seseorang dari penampilannya saja.
Kukira jika aku memilih Mas Pram, itu adalah tindakan tepat. Ia sosok pria yang baik. Apa adanya. Pekerja keras. Di balik kesibukannya sebagai mahasiswa tingkat akhir Mas Pram masih nyambi kerja di sebuah penerbitan sebagai tenaga free lance. Barangkali kondisinya yang belum mapan itulah yang membuat Bapak meragukan masa depannya.
"Bapakmu berniat baik, Jeng ..." Ibu mendatangiku yang masih duduk meringkuk di dalam kamar. Aku membisu.
"Kalau dia tidak menurut apa kataku, suruh minggat sekalian! Biarkan dia pergi dari rumah ini dan menikah dengan laki-laki pilihannya itu. Tapi konsekuensinya, jangan menganggap aku sebagai Ayahnya lagi!" Seruan Bapak di ruang tengah, sungguh --- telah merenggut sebagian harga diriku.
***
Motor melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi. Sesekali rodanya oleng ke kanan dan ke kiri mewakili perasaanku. Sementara air mata sudah sejak tadi berebut berjatuhan membasahi pipi.
Bapak sudah mengusirku. Ya, mengusirku! Lantas ke mana aku harus pergi?
Harapanku satu-satunya hanyalah Mas Pram. Maka meluncurlah motor yang kukendarai ke rumah kontrakannya.
"Tenangkan diri sejenak, Jeng. Banyak-banyak beristigfar. Setelah itu kuantar kau pulang, ya. Aku akan bicara dengan Bapak."
Tutur lembut dan kesabaran Mas Pram membuat hatiku luluh. Api yang semula tersulut di dalam dada perlahan mendingin. Niat baik pria yang akhirnya benar-benar menjadi suamiku itu tidak mampu lagi kutolak. Tanpa menunggu lama, hanya berselang beberapa menit aku manut ketika dibonceng pulang untuk menemui Bapak.
Tapi sudah bisa diduga, jangankan menyambut uluran tangan Mas Pram, menatap wajahnya saja Bapak tidak sudi. Perlakuan itu tentu saja sangat melukai perasaanku.
Kembali kami pergi --- lebih tepatnya diusir dengan hati sangat terhina.