Satu jam sebelum dokter datang, aku selalu membersihkan ruang praktik yang terletak di bagian paling ujung bangunan induk. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi cukup asri dan nyaman karena memiliki sepasang jendela berukuran besar yang menghadap langsung ke arah kebun di samping klinik.
Membuka jendela lebar-lebar. Ya. Itu adalah hal pertama yang kulakukan setiap pagi sebelum melanjutkan aktivitas lain. Biasanya aku akan berdiri berlama-lama di sana---di samping jendela itu. Melempar pandang ke arah kebun, menatap sebatang pohon sawo yang tumbuh di antara pepohonan lain, yang tampak tumbuh liar tidak terurus.
Pohon sawo itu sedang berbuah lebat. Jelas terlihat dari tempatku berdiri. Buahnya yang berwarna coklat kekuningan tersembul di sela daun-daun. Seolah sengaja memamerkan diri untuk segera dipetik.
Dipetik?
Tiba-tiba aku teringat kata-kata dokter---suatu siang ketika kami bersiap-siap untuk pulang.
"Pohon sawo itu sudah tumbuh di sana sebelum klinik ini dibangun. Entah siapa yang menanamnya. Hanya saja tidak ada seorang pun yang peduli. Coba kamu perhatikan. Banyak buah matang pohon yang berjatuhan di atas tanah."
Tak ayal pandanganku mengikuti arah telunjuk tangan dokter. Memang. Tampak beberapa butir buah berserakan di sekitar pohon. Sungguh amat sangat disayangkan.
"Menurut para tetua, setiap pohon sawo ada penunggunya, Dokter," aku menanggapi kata-kata dokter dengan suara perlahan. Mendengar kata-kataku, sontak dokter tertawa keras.
"Itu cuma mitos, Nis. Tidak ada mahluk penunggu pohon."
Aku terdiam. Sangat mahfum. Untuk hal-hal semacam ini, dunia medis memang tidak terpengaruh apalagi mempercayai.
Sampai akhirnya keberadaan pohon sawo dan buahnya yang lebat itu terlupakan. Kesibukan membantu dokter melayani pasien membuatku tidak memiliki waktu untuk berlama-lama berdiri di dekat jendela lagi.
***
Tanpa terasa waktu terus bergulir. Hari datang silih berganti seperti roda pedati yang berputar.
Demikian juga dengan pasien-pasien yang berkunjung ke klinik. Kapan waktu mereka harus kembali bertemu dokter sudah menjadi semacam siklus. Berputar sesuai dengan jadwalnya masing-masing.
Dan, di antara sekian banyak pasien yang kembali menemui dokter, adalah seorang pria berusia kisaran empat puluh tahun. Yang harus berkunjung ke klinik di setiap akhir bulan.
Oh, iya. Tersebab aku baru tiga bulan bekerja membantu dokter, jadi belum hafal betul satu persatu nama-nama pasien yang jumlahnya tidak terhitung.
Begitu juga dengan pasien pria itu. Aku harus bertanya ulang siapa namanya ketika suatu hari ia datang menghadap ke mejaku.
"Dengan Bapak siapa, ya?"
"Ah, rupanya kamu sudah melupakan namaku."
"Maaf. Saya benar-benar tidak bisa mengingat siapa nama Bapak."
"Ya, sudahlah. Tidak apa-apa. Siapkan saja kartuku. Nomor 13." Laki-laki itu menatap ke arahku sejenak. Dengan sorot mata dingin.
Jantungku mendadak berdegup kencang. Merasa sedikit gugup.Â
Pasien itu, mengapa ia menatapku begitu?
Agak gemetar tanganku membuka laci tempat penyimpanan kartu-kartu. Ketika kutemukan kartu bernomor 13, mataku langsung tertuju pada satu nama aneh yang tertera di sana.
Tn. Kecik.
***
"Kau mimpi buruk lagi, Nis?" Suara Mas Raka, suamiku, membangunkan igauanku. Sembari memutar badan aku menghela napas panjang.
"Iya, Mas. Mimpi tentang--- sorot mata dingin pria bernama Kecik itu."
"Hanya efek dari kelelahan, Nis. Belakangan jam kerjamu terus bertambah." Mas Raka merapikan selimutku yang tersingkap. "Sekarang tidur lagi, ya," lanjutnya, sebelum bibirnya yang lembut mengecup hangat kedua pipiku.
***
Suatu pagi, ketika membuka jendela ruang praktik, telingaku menangkap suara menggerung dari arah kebun di samping klinik.Â
Tampak Pak Budi---tukang kebun yang merangkap sebagai penjaga klinik tengah mengawasi dua orang pekerja. Mereka sibuk menebang pohon sawo yang berbuat lebat itu. Atas perintah dokter, tentunya.
Dalam hati aku menyayangkan perihal terjadinya eksekusi itu. Eman. Pikirku; pohon sawo yang sedang lebat-lebatnya berbuah mengapa mesti ditebang?
Tapi, ya, sudahlah.
Baru saja hendak menyiapkan buku tamu, mendadak terdengar langkah seseorang, membuatku terdongak.
Ternyata pasien bermata dingin itu. Tuan Kecik.
"Aku butuh pertolongan," ujarnya dengan napas terengah.
"Tapi dokternya belum datang," aku memberitahu.
"Kamu bisa kan, menolongku? Kepalaku terluka."
Tuan Kecik menunjukkan pelipis kirinya yang berdarah. Sembari duduk di hadapanku ia mengaku baru saja mengalami kecelakaan.
Tidak tega melihat keadaannya, aku segera memberikan pertolongan pertama, sembari menunggu kedatangan dokter.
Untunglah tak berapa lama dokter muncul. Usai memeriksa kondisi pasien yang terluka itu, dokter membuatkannya resep seraya berpesan, "Untuk sementara jaga lukanya agar tidak terkena air. Seminggu lagi kontrol. Akan kulihat perkembangannya."
"Semoga cepat sembuh," ujarku ketika pasien pamit pergi. Aku mengantarkannya hingga di ambang pintu.
Sepeninggal pasien itu, aku menutup daun jendela dan berniat merapikan peralatan medis yang baru saja dipergunakan.
Sementara dokter sibuk memilih anak kunci untuk menutup laci meja kerjanya yang masih terbuka.
"Loh, apa ini?!" Tiba-tiba dokter berseru lantang seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam laci.Â
Buru-buru aku datang menghampiri.
"Kau lihat ini, Nis! Uang-uangku di dalam laci semua berubah menjadi daun!"
"Men-jadi daun?" Aku terperangah.Â
"Iya, daun! Astaga, daun apa pula ini?" Dokter menatapku panik.
"Ini---kalau tidak salah, daun sawo, Dokter," pelan sekali aku menjawab. Dokter tertegun sejenak. Lalu berdiri dari tempat duduknya dan memintaku membuka lagi jendela yang baru saja kututup.
Mata dokter terpicing ketika menyaksikan pohon sawo di samping klinik sudah tumbang.
"Nis, coba kamu ambil kartu nomor 13 tadi," perintahnya tanpa menoleh.
"Baik, Dokter." Gegas aku melangkah menuju meja. Mengambil dan menyerahkan kartu nomor 13 ke tangan dokter.Â
Selanjutnya, entah apa pemicunya, dokter mendadak terpekik. Lalu tangannya bergerak refleks menjatuhkan kartu bernomor 13 itu ke lantai.
Karena penasaran dengan apa yang sedang terjadi, aku berniat memungut kartu itu.
Tapi urung.
Mataku memilih terbelalak.
Ada apa gerangan?Â
Kartu itu. Seluruh permukaannya berlumuran darah! Kental dan berbau anyir. Lalu perlahan darah itu merembes, menghapus rekam jejak medis yang tertulis di dalamnya.Â
Kecuali satu deret huruf yang tetap bisa terbaca, meski samar-samar.
Tn. Sawo Kecik.Â
Sawo? Sejak kapan nama Sawo tertulis di situ?
Ah, entahlah!
***
Malang, 09 Juli 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H