Agak gemetar tanganku membuka laci tempat penyimpanan kartu-kartu. Ketika kutemukan kartu bernomor 13, mataku langsung tertuju pada satu nama aneh yang tertera di sana.
Tn. Kecik.
***
"Kau mimpi buruk lagi, Nis?" Suara Mas Raka, suamiku, membangunkan igauanku. Sembari memutar badan aku menghela napas panjang.
"Iya, Mas. Mimpi tentang--- sorot mata dingin pria bernama Kecik itu."
"Hanya efek dari kelelahan, Nis. Belakangan jam kerjamu terus bertambah." Mas Raka merapikan selimutku yang tersingkap. "Sekarang tidur lagi, ya," lanjutnya, sebelum bibirnya yang lembut mengecup hangat kedua pipiku.
***
Suatu pagi, ketika membuka jendela ruang praktik, telingaku menangkap suara menggerung dari arah kebun di samping klinik.Â
Tampak Pak Budi---tukang kebun yang merangkap sebagai penjaga klinik tengah mengawasi dua orang pekerja. Mereka sibuk menebang pohon sawo yang berbuat lebat itu. Atas perintah dokter, tentunya.
Dalam hati aku menyayangkan perihal terjadinya eksekusi itu. Eman. Pikirku; pohon sawo yang sedang lebat-lebatnya berbuah mengapa mesti ditebang?
Tapi, ya, sudahlah.
Baru saja hendak menyiapkan buku tamu, mendadak terdengar langkah seseorang, membuatku terdongak.
Ternyata pasien bermata dingin itu. Tuan Kecik.