"Aurora!"
Aku nyaris duduk menemani laki-laki pelanggan warung itu, kalau saja tidak kudengar seruan lantang itu.
Itu suaramu. Kau yang memanggilku. Dan itu---sungguh, membuatku merasa senang.
Aku melihatmu. Berdiri di ambang pintu warung. Menatapku ramah. Dengan seikat bunga berwarna merah tertangkup erat di tanganmu.
"Bunga-bunga ini kupersembahkan untukmu. Aku baru saja memetiknya dari kebun belakang rumah. Terimalah!"
Kakiku siap terayun, menujumu. Tapi laki-laki pelanggan warung itu menahanku dengan gerakan cepat, mencengkeram satu lenganku kuat-kuat.
"Jangan pergi! Tetap duduk di sini! Kau tahu? Aku sudah membayar mahal harga dirimu pada Ibumu!"
Sejenak aku terperangah. Menatap tak percaya wajah Ibu dengan mata merah menyala.
"Ibu?"
Suaraku tertahan. Terhenti di tenggorokan.
Aku melihat Ibu terdiam. Seperti biasa. Ibu pura-pura tidak mendengar kata-kataku.Â