"Aurora!"
Ibu berteriak lantang. Memanggilku. Membuatku berhenti menulis puisi tentang langit.
Ya. Aku harus bergegas menghampiri Ibu. Membantunya mencuci piring- piring dan gelas-gelas kotor yang berserakan di atas meja warung.
"Aurora!"
Seorang pelanggan warung berseru lantang. Memanggilku. Membuat tanganku gegas mematikan kran air.
Ya. Aku harus bersegera menyeduh secangkir kopi. Lalu menyuguhkannya pada laki-laki pelanggan warung itu. Kalau tidak, Ibu bisa marah. Sebab bagi Ibu pengunjung warung---siapa pun dia, harus dilayani sebaik-baiknya bak seorang raja.
"Ia sering berhutang di warung kita, Bu. Kadang-kadang ia juga suka marah saat ditagih untuk melunasi hutang-hutangnya yang sudah menggunung. Apakah terhadap pelanggan yang demikian kita tetap harus memperlakukannya seperti seorang raja?" Â
Pernah aku memprotes perihal pelanggan warung itu kepada Ibu. Tapi Ibu tidak menyahut. Ibu pura-pura tidak mendengar kata-kataku.
"Aurora!"
Kembali kudengar seruan lantang pelanggan warung itu. Aku melihat Ibu sudah mengedikkan kepala, memberi tanda agar aku bergegas datang melayani tamu istimewanya itu.
"Temani aku minum kopi," laki-laki pelanggan warung itu menatap tajam ke arahku begitu aku sampai di hadapannya. Lalu ia menggeser duduknya sedikit. Memberi ruang agar aku leluasa duduk berjejer di sampingnya.