Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel [25-Tamat] Goodbye Nightmare! | Kisah yang Hilang

4 Januari 2020   03:43 Diperbarui: 4 Januari 2020   03:42 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bag-25 (Tamat)

Kisah yang Hilang

----------

Musik dansa mengalun lembut. Membawa beberapa pasangan yang sudah saling bertangkup pinggang semakin mempererat pelukan.

Tak terkecuali pasangan itu---yang sejak tadi menunggu acara pesta dimulai.

"Aku tidak menyangka kalau kau diundang juga dalam pesta topeng ini, Ron," bisik Laquita di antara ayunan langkah mereka. Ron tidak menyahut. Ia hanya tertunduk diam. Menatap wajah cantik di hadapannya dengan perasaan damai.

"Hanya aku tidak habis pikir. Mengapa aku seolah pernah hadir di acara pesta semacam ini? Entah kapan. Barangkali sebelum kecelakaan sore itu..." Laquita berbisik lagi.

Ron masih diam mendengarkan. Sementara musik terus mengalun, mendayu-dayu.

"Kau mendengarkan aku, kan, Ron?" Laquita mempererat pelukannya.

"Oh, tentu aku mendengarmu, Quit."

"Kau percaya kalau aku pernah melihat pesta semacam ini?" Laquita kembali menegaskan. Ron mengangguk.

"Masquerade Party Ball. Semacam itu, Ron. Aku mendengar alunan musik sama persis seperti ini. Aku juga seperti melihat diriku menggunakan gaun pesta warna hijau tosca, dengan petticoat  menggelembung. Ketika itu aku datang terlambat. Sampai kemudian seseorang datang meraih tanganku...." Laquita memejamkan mata sejenak. Langkah keduanya terus mengayun. Mengikuti irama lembut yang syahdu.

"Orang itu aku, Quit. Pria yang mengajakmu berdansa itu pasti aku," Ron mencium lembut ujung kepala Laquita. Laquita tertawa lirih.

"Sepertinya bukan, Ron. Orang itu memiliki mata elang. Tatapannya tajam. Sedang matamu, lembut."

"Lalu siapa kira-kira pria gentle yang berhasil mengajakmu berdansa pada pesta dalam ingatanmu itu kalau bukan aku?" Ron mengulum senyum.

"Entahlah. Aku lupa namanya. Tapi aku tidak lupa pada tatapan matanya."

Ron bersyukur Laquita tidak bisa mengingat nama itu.

Ron menengadahkan kepala sejenak. Pandangannya mengarah ke atas balkon yang terletak di sisi kanan arena dansa.

Ia melihat bayangan itu masih berdiri di sana.

Jeremy.

Pria bertopeng itu mengawasi mereka dari jauh. Ron mengacungkan satu jempol ke arahnya.

"Ron, aku menyesal telah membiarkan Inta---kakak perempuanku satu-satunya, terjerumus ke dunia obat-obatan terlarang," Laquita mengalihkan pembicaraan.

"Itu bukan salahmu, Quit. Lagi pula Inta sudah ditangani oleh pihak yang benar. Ia telah dikirim ke tempat semestinya---rehabilitasi khusus orang-orang yang kecanduan Narkoba."

Laquita mendesah. Meski banyak hal yang tidak disukai pada diri kakak angkatnya itu, tapi ia tetap merasa kehilangan.

"Inta melepaskan rasa kecewa terhadap Andrew kekasihnya, dengan cara yang salah," Laquita bergumam pelan.

"Cinta memang seperti itu, Quit. Kadang ia indah, kadang bisa bertindak sangat kejam," Ron tersenyum tipis.

Musik dansa berhenti dengan manis. Laquita melepas pelukannya. Juga topeng yang dikenakannya. Ron membimbingnya duduk di kursi tamu yang berjajar rapi di pojok ruangan.

"Quit, boleh aku meninggalkanmu sebentar?" Ron berbisik di telinga Laquita. Gadis itu mengangguk.

Ron bergegas menaiki anak tangga. Ia menemui Jeremy yang tengah berdiri dengan tangan bersedeku pada lengan pagar aluminium yang melingkar di sepanjang tepi balkon.

"Bro, aku berterima kasih padamu," Jeremy berkata tanpa menoleh.

"Aku yang seharusnya berterima kasih, Je. Kau telah memberiku kesempatan bisa berdansa dengan Laquita."

"Aku terpaksa melakukannya, Lionel. Kau tahu kenapa? Sebab---Laquita tidak boleh mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Atau lebih tepatnya---belum boleh tahu."

"Apa sebenarnya yang telah terjadi padamu, Je?" Ron memberanikan diri bertanya.

"Aku hanya bisa bercerita sedikit padamu, Lionel. Aku sedang menjalani sebuah proses panjang menuju kesempurnaan. Yakni menjadi manusia seutuhnya." Jeremy menegakkan punggungnya.

"Menjadi ma-nu-sia?" Lionel berkerut kening.

"Ya. Manusia, Lionel." Jeremy tertawa. "Aku sudah menjalani proses itu berabad-abad lamanya. Dengan menghindari banyak pantangan. Di antaranya, tidak boleh terbang dan menghilang. Seperti yang biasa kaumku lakukan. Dan aku nyaris mendapatkan kesempurnaan itu. Kalau saja Nemo tidak merebut Laquita dariku."

"Kalau kau mau, sekarang kau bisa mendapatkan dia, Jeremy. Laquita."

"Tidak, Lionel. Sudah kubilang dari awal, aku telah melanggar perjanjian itu. Aku harus memulai semuanya dari nol lagi. Kau lihatlah ini," Jeremy menyingkap sedikit ujung lengan jubah yang dikenakannya. Ron melihat kulit pria bertopeng itu bentol-bentol membiru dengan sisik-sisik kasar yang mengerikan.

"Juga ini," kali ini Jeremy mengangkat sedikit topeng yang menutupi wajahnya.

Ron terperangah. 

Dua pasang taring tersembul dari balik  topeng yang tersingkap itu.

"Inilah aku yang sebenarnya, Lionel. Aku telah kembali ke wujudku semula," Jeremy menghela napas panjang.

"Itu sebabnya kau merekayasa semua ini, Tuan Vampire? Kau membuat seolah-olah Laquita mengalami kecelakaan usai mengantar kakaknya ke Wooden House."

"Benar, Lionel. Aku minta maaf. Aku terpaksa menggulingkan mobil Laquita di tepi jurang dan meletakkan gadis itu di dalamnya."

"Aku paham. Kau ingin menghapus ingatannya tentang dirimu. Tentang perjumpaan kalian. Kau berharap Laquita bisa melupakanmu dan menganggap semua kejadian yang dialaminya hanyalah mimpi buruk."

"Lagi-lagi kau benar."

"Tapi kau salah, Tuan Vampire. Laquita tidak pernah bisa melupakanmu. Ia baru saja mengatakan sesuatu padaku. Tentang dirimu. Hanya saja ia tidak bisa mengingat siapa namamu."

Jeremy tertawa.

Tentu saja Laquita tidak akan bisa mengingat namanya. Ia sudah menghapus sebagian memori gadis itu. 

Ya, ia hanya menyisakannya sedikit. Sangat sedikit. Meski dalam hati kecilnya, Jeremy tidak ingin Laquita benar-benar melupakannya.

Terdengar langkah seseorang menaiki anak tangga balkon.

Jeremy menepuk pundak Ron.

"Lionel, gadis itu sudah menyusulmu kemari. Aku pamit! Aku masih harus menyelesaikan urusanku dengan Nemo. Jaga dia baik-baik. Suatu saat nanti aku pasti akan datang menjemputnya."

Ron ingin sekali mencegah langkah Jeremy. Ia punya hutang menjelaskan satu hal. Tentang bargaining yang pernah disampaikannya itu. 

Tapi Jeremy terburu lenyap dari pandangan matanya. Pria bertopeng itu Sudah melesat pergi sebelum Laquita sampai di atas balkon.

Laquita berjalan menghampiri Ron seraya mengangkat gaunnya yang berjuntai.

"Ron, kurasa sekarang aku bisa mengingat nama pria bermata elang itu!" Laquita berseru dengan mata berbinar.

Mendengar itu Ron memutuskan harus berbuat sesuatu. Ia gegas melangkah maju, merengkuh pundak Laquita.

Lalu sebelum Laquita sempat menyebutkan satu nama, dengan sigap Lionel membekap mulut gadis itu. 

Dengan ciuman.

                                                             

     

Tamat

 ***

Malang, 04 Januari 2020

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun