"Rumah kami? Kau menyebutnya rumah kami? Kau bermimpi Tuan Sastro. Itu rumah mendiang istri sambunganmu. Kau tidak berhak apa-apa di sana," Inta tersenyum kecut.
"Tapi sudahlah. Semua sudah menjadi garis takdirku. Aku sudah mengikhlaskan semuanya. Aku tinggal memikirkan langkah apa yang selanjutnya harus kulakukan," Inta mendengus.
"Asal bukan langkah untuk mencelakai adikmu, Inta. Bagaimanapun juga ia adalah saudara seayahmu...."
"Ayah---jangan coba-coba mengajariku!" Inta melempar asbak di hadapannya. Membuat benda terbuat dari kaca itu pecah berkeping-keping.
"Aku hanya mengingatkanmu, Inta. Di sisa usiaku, aku ingin melihat kalian rukun. Tidak mempermasalahkan harta warisan." Pria di atas tempat tidur itu terbatuk-batuk.
Inta menyandarkan kepalanya pada lengan kursi. Ia meraih tas yang tergeletak di atas meja. Merogoh beberapa pil dan langsung menelannya.
"Juga---hentikan ketergantunganmu pada obat-obatan terlarang itu, anakku," Â lanjut pria tua tak berdaya itu.
Inta seolah tidak mendengar. Pikirannya sudah hilang. Melayang. Terpengaruh oleh obat-obatan yang baru saja menguasainya.
***
Seseorang masuk ke dalam ruangan sempit itu. Meletakkan beberapa berkas di atas meja. Melirik sebentar ke arah Inta yang terkulai lemas di atas kursi.
"Inta tidak akan terbangun sebelum efek obat-obatan yang ditelannya hilang," pria tua yang terbujur di atas kasur berkata kepada seseorang yang baru datang itu. Orang itu tidak menyahut. Hanya berdiri mematung.