"Kau hanya memperoleh sepertiga dari warisan peninggalan Ibumu, Nona. Dalam surat wasiat ini, Nona Laquita adalah pemilik hak waris sepenuhnya," pria berkacamata minus itu menunjukkan surat-surat penting di hadapan Inta.
Kala itu Inta hanya diam, tidak bereaksi apa-apa. Tapi sesudah pria berkacamata minus itu pergi meninggalkan rumahnya, barulah Inta mengutuk. Menyesali semuanya. Termasuk keputusan surat wasiat yang ditinggalkan oleh mendiang Ibunya.
Ia juga menyesali satu hal.
Mengapa Ayahnya tidak berterus terang terhadap Ibu angkatnya---bahwa ia sebenarnya adalah anak kandung yang terlahir dari rahim perempuan lain?.
***
Inta mendatangi kamar sempit yang dihuni oleh pria yang kini terbaring tak berdaya di atas kasur. Kondisi pria itu sangat mengenaskan.
"Aku telah berbaik hati padamu. Menitipkanmu pada Rumah Sakit kusta itu. Dan kau tahu? Beayanya tidak sedikit," Inta berkata datar. Tanpa ekspresi. Pria yang terbujur lemah itu hanya memandanginya.
"Aku menyesali kebodohanmu. Mengapa kau tidak membalik nama semua harta Nyonya Irawati atas namamu?" Inta melanjutkan.
Pria itu masih diam.
"Tapi kupikir, mahluk terbodoh di dunia itu adalah aku karena telah memiliki Ayah sepertimu!"
"Bukankah aku sudah menjemputmu pulang, Inta? Membawamu dari rumah panti asuhan itu ke rumah kami," akhirnya pria itu bicara.