Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel [8] Goodbye Nightmare! | "Bargaining!"

18 Desember 2019   07:03 Diperbarui: 18 Desember 2019   07:33 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bag-8

Bargaining!

----------

Di suatu tempat.

Bius chloroform perlahan menghilang. Pria bertopeng yang terlentang di atas tempat tidur itu mulai bergerak-gerak. Dan hal pertama kali yang dilakukannya adalah melemaskan jemari kaki dan tangannya.

Pria itu belum sepenuhnya menguasai keadaan. Kepalanya masih terasa pusing. Pandangannya sedikit kabur.

Meski begitu pria itu berusaha untuk bangun. Matanya yang memerah menyapu seluruh ruangan. Perlahan ia berusaha mengembalikan memorinya yang sempat beberapa jam terhenti.

Kamar sempit dengan tembok lembab. Pintu kecil terbuat dari papan kayu yang catnya sudah aus.

Dua hal itu yang pertama kali dilihatnya.

Ia berdiri. Berjalan perlahan menuju pintu dan menarik handel yang ujungnya sudah karatan.

Pintu ternyata bergeming. Terkunci dari luar. Pria itu menggeser langkahnya, kembali ke tempatnya semula. Lalu duduk di tepi ranjang.

Sejenak pandangannya beralih ke arah jendela. Sesuatu membuatnya berdiri. Mendekati jendela.

Perlahan tangannya mendorongnya kaca jendela yang memburam. Seperti halnya pintu, jendela itu sama sekali tidak bergerak.

Dikembangkannya telapak tangan kanan lebar-lebar, mengukur luas bingkai jendela. Ia mengernyit alis. Perkiraan luas hanya 3x2 jengkal tangan. Itu jelas tidak mungkin untuk bisa meloloskan tubuhnya yang kekar dari penjara kamar pengap ini.

Pria itu mendesis. Melampiaskan kekesalannya.

Tak ada jalan keluar lagi. Ia mengumpat dalam hati seraya meraba-raba pinggangnya. Mencari-cari ponsel dan tas kecilnya. Raib!

Disita-kah? Tapi oleh siapa?

Pria itu tercenung. Ingatannya kembali mengembara ke peristiwa di malam itu. Malam di mana ia sedang duduk menunggu kedatangan Laquita di sebuah taman.

Bibirnya mendesis lagi.

Ia ingat kini, ketika menunggu Laquita, ia melamun. Memikirkan banyak hal. Salah satunya adalah tentang komitmen yang telah mereka sepakati selama ini.

Sejatinya malam itu ia ingin menngungkapkan sesuatu kepada Laquita. Sesuatu yang sangat penting. Yang membuatnya merasa begitu tertekan.

Ya, pria itu ingin mengatakan bahwa ia ingin melepas topeng yang dikenakannya. Sangat ingin.

"Melepas topeng? Bukankah dulu kau pernah bilang, jika salah satu dari kita melanggar kesepakatan berarti hubungan tidak bisa dilanjutkan," ia membayangkan Laquita berkata seperti itu. Menyanggahnya habis-habisan sembari melototkan matanya yang bagus.

Saat membayangkan sedang menikmati kemarahan Laquita itulah mendadak segerombolan anak muda mengepungnya. Membuyarkan khayalan indahnya bersama Laquita.

Dan ia tak berkutik ketika salah seseorang dari anak muda itu membekap mulutnya menggunakan sapu tangan basah.

Laquita, andai kau tahu siapa aku sebenarnya. Apakah kau akan tetap mencintaiku? 

Ia masih sempat melanjutkan lamunannya. Bahkan ketika matanya mulai terasa perih akibat gas air mata yang disemprotkan seseorang tepat di kedua matanya, ia tetap saja melamunkan Laquita.

Braaakkk!

Pintu kamar terkuak lebar. Dua orang pria masuk.

Sama seperti dirinya. Mereka mengenakan penutup wajah.

"Selamat datang di markas darurat kami, Jeremy," suara berat menyapanya. Jeremy mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan orang-orang bertopeng itu.

Dengan tenang Jeremy menyandarkan punggungnya pada tembok kamar yang lembab dan berlumut.

"Sudah kuduga. Kalian pasti akan terus mengejarku," Jeremy tersenyum. Senyum kecut yang dipaksakan.

Selanjutnya, ia harus rela menjalani perlakukan yang---sangat tidak manusiawi.

***

Jeremy terlihat pasrah. Ia sama sekali tidak (atau belum) mengadakan perlawanan. Ia sangat menyadari posisinya. Dengan siapa kini dirinya berhadapan.

"Jadi Boss kalian juga sudah berhasil menemukannya?" Jeremy bertanya santai---lebih tepatnya berusaha terlihat santai.

"Masih dalam proses." Salah satu dari dua pria bertopeng itu menyahut.

Masih dalam proses?

Jawaban itu membuat jantung Jeremy sedikit terlonjak. Ia langsung bisa menerka dan memahami ke mana arah pembicaraan mereka.

Jeremy menggeletukkan rahangnya.

Mereka---gerombolan itu telah berhasil menangkap Laquita.

"Kuharap kalian bersikap gantleman. Tidak layak menyakiti seorang perempuan," Jeremy berkata setengah geram.

"Tergantung situasi. Jika perempuan itu membandel, maka kami tidak akan segan mengeksekusinya."

Satu kalimat lagi yang membuat Jeremy akhirnya memilih bungkam. Ya, lebih baik begitu. Sebab ia tahu percuma saja berdebat dengan mereka. Mereka adalah mahluk-mahluk tak bernurani, brutal, sangat kejam, yang tidak bisa dilawan dengan kekuatan biasa.

Laquita. 

Ah. Semoga gadis itu baik-baik saja.

***

Jeremy masih bersandar punggung pada dinding kamar, menatap kedua sosok yang berdiri menghalangi pintu.

"Apakah Boss kalian tidak menitip pesan untukku?" Jeremy sengaja memancing-mancing pembicaraan. Salah seorang dari pria bertopeng itu mengangkat tangannya.

"Ada. Mengenai gadis itu...."

"Jangan bawa-bawa Laquita! Kalian boleh berpesta pora dengan nyawaku! Tapi tidak dengan Laquita!" Jeremy mulai tersulut emosi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Laquita harus mengalami hal-hal buruk di tangan orang-orang  jahat ini.

Jeremy merandek maju. Dua sosok itu terkejut. Lalu refleks mundur.

Bukan lantaran takut terhadap sikap Jeremy yang bisa saja tiba-tiba menyerang, melainkan memberi ruang kepada sosok lain yang muncul di belakang mereka.

"Apa kabar Jeremy?"

Jeremy terjengah.

Sosok itu. Jeremy amat mengenalnya.

Sang Big Bos.

***

Dari balik topeng masing-masing, kedua mata pria tegap itu saling beradu.

"Kupikir kau sudah berubah, Nemo. Ternyata tidak," Jeremy mendesis. Sosok yang dipanggil Nemo itu tertawa. Tawa serak yang berat dan terdengar licik.

"Aku baru akan berubah jika benar-benar sudah berhasil menguasai gadis itu. Kau paham maksudku bukan?"

"Kau tahu aku tidak pernah sepaham dengan pikiranmu, Nemo."

"Itulah kau, Jeremy. Keras kepalamu itu kadang membuatku ingin segera mengenyahkanmu dari muka bumi ini!"

"Tapi sayang kau tidak pernah bisa melakukannya," Jeremy tertawa mengejek.

"Kali ini aku pasti bisa! Kartu truft sudah berada di tanganku."

"Laquita, maksudmu? Dengar Nemo. Aku peringatkan! Jangan sekali-sekali kau menyakiti gadis itu. Sebab apa? Aku bisa lebih ganas dari yang kau kira," Jeremy menatap tajam ke arah sosok yang kini berdiri membelakanginya itu.

Nemo berbalik. lalu membalas tatapan Jeremy dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Oh, ya? Sungguh ini sebuah ancaman yang indah, Jeremy. Benar-benar sangat indah."

 ***

Sang Big Boss dan dua manusia bertopeng sudah meninggalkannya. Kini Jeremy kembali terkunci di kamar sempit yang pengap. Ia mengamati keadaan di luar jendela sejenak. Memastikan bahwa hari sudah beranjak malam.

Disentuhnya perlahan kaca jendela yang kian memburam tertutup embun. 

Saat pikirannya sedang buntu dan tidak tahu harus melakukan apa, ia memutuskan untuk merebahkan diri. Mencoba rileks. Tapi hanya sesaat. Derap langkah membuatnya kembali duduk, memasang telinga baik-baik. Pandangannya kembali tertuju ke arah datangnya suara.

Benarlah. Derap kaki itu menuju ke arah kamarnya. Berhenti tepat di depan pintu. Lalu terdengar bunyi anak kunci diputar berkali-kali.

Ceklek!

Anak buah Big Boss yang tadi berada bersamanya, menyeruak masuk ke dalam kamar dengan napas terengah.

"Dengar Jeremy, ini sangat penting!  A-ku akan membebaskanmu," sosok itu berkata terbata seraya menutup daun pintu hati-

Jeremy mengernyit alis.

"Cepat! Tukar jaketmu dengan jaket milikku. Lalu keluarlah melalui pintu itu. Ikuti saja lorong panjang hingga berakhir di sebuah ruangan yang berdinding hitam. Di sana terdapat pintu keluar!" sosok yang baru masuk itu berkata sembari sibuk melepas jaket yang dikenakannya.

"Mengapa kau menolongku?" Jeremy bertanya seraya menyodorkan jaket miliknya kepada sosok tak dikenal itu.

"Bargaining. Ada timbal balik di dalamnya."

"Siapa namamu?"

"Aku Lionel. Sudahlah. Jangan banyak bertanya. Nanti setelah semua beres, setelah kau bisa keluar dari gedung ini dengan aman, aku akan menjelaskan padamu, mengapa aku menolongmu."   

Bersambung....

***

Malang, 18 Desember 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Kisah sebelumnya

Novel 7

Novel 6

Novel 5

Novel 4

Novel 3

Novel 2

Novel 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun