Kebaya warna hijau muda berhiaskan manik-manik di sekitar leher dan lengan masih tergeletak di atas kursi. Lengkap dengan kain batik motif parang rusak berwarna putih gading.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini ia didapuk lagi sebagai Nyai Ken Dedes dalam arak-arakan acara bersih desa. Terhitung sudah tiga dasa warsa ini ia berperan sebagai sosok yang dielu-elukan itu. Sejak usianya masih sangat belia. Tujuh belas tahun.
"Tahun depan harus sudah ada menggantikan posisiku," ia berkata lirih, setengah mengeluh.
"Ken Dedes sudah manjing di ragamu, Nes. Tidak ada yang bisa menyingkirkanmu," sebuah suara, bernada berat menimpali.
"Kau benar. Dua kali aku meminta pada sesepuh kampung agar mereka mencari sosok lain--selain aku. Tapi apa yang terjadi?" perempuan yang dipanggil Nes itu menghela napas panjang. Pikirannya mengembara ke mana-mana.Â
Ia teringat bagaimana setiap kali dirinya berusaha mangkir sebagai Nyai Ken Dedes, sebuah peristiwa mengenaskan pasti terjadi.
"Warga desa tentu saja tidak ingin acara ruwatan berakhir kisruh. Cukup Srinem dan Kartini saja yang menjadi korban."
Ya. Srinem dan Kartini. Dua perempuan yang pernah dipilih menggantikan posisinya itu harus mengalami luka tusukan yang cukup parah di lambungnya.
Entah siapa yang melakukannya.
***
Neswari. Nama perempuan itu. Ia memiliki paras cantik khas perempuan Jawa. Kulitnya sawo matang. Hidungnya bangir. Sorot matanya tajam. Meski usianya sudah merambah ke angka empat puluh tujuh tahun, tampilannya boleh dibilang masih menawan.