"Kau percaya apa pun yang aku katakan, Nyai?" Ken Dedes melontarkan sebuah pertanyaan sebelum ia memulai kata-katanya. Nyai Gayatri spontan mengangguk.
"Sekalipun menurutmu apa yang kukatakan itu sebenarnya tidak benar?" sorot mata tajam Ken Dedes menembus tepat pada ulu hati sang abdi dalem, membuat perempuan paruh baya itu gugup.
"Tidak perlu takut, Nyai. Aku hanya ingin memastikan, bahwa sekalipun peradaban telah berubah, watak manusia tidak akan pernah bisa berubah. Khususnya bagi mereka yang terlalu mencintai pekerjaannya dan juga---tuannya." Ken Dedes menyentuh punggung perempuan tua itu. Lalu merogoh kemben, mengeluarkan sekeping logam emas.
***
Derap kaki membuat Ken Dedes tergesa menggeser daun pintu. Dilihatnya Tunggul Ametung---suaminya, sudah berdiri di hadapannya dengan wajah kuyu.
"Perang membuatku lelah, Dinda," Tunggul Ametung menghempaskan diri di atas kursi. Ken Dedes hanya diam.
"Kau tidak kecewa padaku, kan, Dinda? Meskipun---sejak memboyongmu kemari aku belum sempat menyentuh tubuh molekmu." Tunggul Ametung memejamkan mata. Tidur.
***
Pertemuan itu jauh-jauh hari sudah direncanakan. Bukan secara kebetulan. Ia yang menyuruh Ken Arok bekerja menjadi tukang kuda milik suaminya. Ia pula yang meminta pada suaminya, Akuwu Tunggul Ametung agar bersedia menerima anak angkat Ki Bango Samparan itu.
Jadi siapa sebenarnya yang jatuh cinta terlebih dulu? Pemuda itu ataukah dirinya?
Lagi-lagi Ken Dedes tersenyum. Dengan kekuasaannya mudah saja baginya untuk mewujudkan segala keinginan. Semudah membalikkan telapak tangan.