Sampai di suatu malam, anak-anak merasa sangat kebingungan ketika laki-laki itu tidak juga kunjung muncul. Mereka menunggu beberapa jam dengan cemas. Tidak seorang pun dari ketujuh anak jalanan itu yang beranjak pergi tidur. Termasuk Adam yang malam itu sengaja menunda keinginan untuk pulang.
"Adakah di antara kita yang memiliki nomor ponsel Om Darwis?" Sadino membuka suara. Sejak tadi anak itu diam. Tercenung. Sembari meraba-raba apa kira-kira yang tengah terjadi pada laki-laki yang tidak diketahui darimana asal usulnya itu.
"Inilah susahnya! Om Darwis tidak pernah memberikan nomor ponselnya kepada kita," Junet yang sehari-hari berkutat dengan sampah di TPA dekat pasar, menyahut. Teman-temannya yang lain mengangguk, mengiyakan.
***
Tiga hari berlalu sudah. Ketika laki-laki yang mereka tunggu belum juga menampakkan wajah, anak-anak jalanan itu akhirnya memutuskan untuk bertindak. Mereka berbagi tugas. Wanto memilih menelisik ke sebuah kantor yang terletak tidak jauh dari alun-alun kota. Secara tidak sengaja anak itu pernah melihat logo pada jaket yang dikenakan oleh Om Darwis. Logo yang mengingatkannya pada nama sebuah kantor jasa pelayanan publik.
Siang itu sekitar pukul sebelas, Wanto sudah berada di kantor yang dituju. Ia memberanikan diri bertanya kepada seorang petugas keamanan yang berdiri di dekat pintu pagar.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Saya ingin bertemu Pak Darwis."
"Pak Darwis? Bekerja di bagian apa, ya?" petugas berseragam itu mengernyitkan alis.
"Sa-ya kurang paham," Wanto menjawab gagap.
"Coba tanya ke bagian resepsionis. Di sana ada daftar nama-nama pegawai yang bekerja di sini," petugas itu menyarankan. Wanto mengangguk. Tapi ia tidak berani melanjutkan langkahnya. Hatinya tiba-tiba saja menciut. Ia khawatir tujuannya yang tidak jelas malah akan menimbulkan kecurigaan banyak orang.