Dan khusus untuk Adam, Om Darwis memberlakukan aturan yang berbeda. Ia membolehkan anak itu ikut jagongan hingga pukul sepuluh malam. Lewat dari jam itu, Adam harus segera pulang ke rumah.
"Tidurlah yang nyenyak. Om pasti akan datang meminjam mimpi-mimpimu!" seruan itu selalu dilontarkan setiap kali Adam berpamit pulang.
Bukan hanya terhadap Wanto, Sadino atau Adam, terhadap keempat anak yang lain, Gondes, Rupingi, Marwan dan Junet, Om Darwis juga tidak pelit berbagi wejangan.
Anak-anak jalanan yang entah sejak kapan memutuskan untuk tidur bersama-sama di emperan toko bangunan itu, masing-masing memiliki masalah yang berbeda. Gondes bahkan sama sekali tidak mengenali wajah kedua orangtuanya.
"Menurut nenek, Ayah dan Ibuku pergi merantau sejak aku masih bayi. Sampai kini belum pernah sekali pun mereka pulang," Gondes bercerita tanpa ekspresi. Kalau sudah begitu Om Darwis akan mengelus kepala anak itu. Memberinya semangat agar tetap tegar.
"Kau harus menyayangi nenekmu itu, Ndes. Jangan terlalu sering meninggalkan rumah," Om Darwis menasihati.
"Nenekku sudah meninggal, Om. Rumah kontrakan kami sudah diambil oleh pemiliknya," Gondes tersenyum kecut.
Sekali lagi Om Darwis mengelus kepala Gondes. Kali ini agak lama.
Sementara kisah hidup Rupingi, Marwan dan Junet tak kalah mengenaskan. Dan Om Darwis berlaku tak ubahnya bak penampungan air. Siap menadah segala keluh kesah anak-anak jalanan itu.
Saat menyadari kehadirannya begitu berarti bagi mereka, rasa senang tak mampu disembunyikannya lagi. Sepanjang malam Om Darwis tak henti mengumbar senyum. Diiringi embusan asap rokok yang berputar-putar di udara seperti cincin.
***