Tapi entah mengapa saat bertemu dengan orangtua Haris, terutama Ibunya, Niswari merasa kurang nyaman. Meski kehadirannya disambut dengan baik, Niswari merasakan ada sesuatu yang disembunyikan di balik sorot mata perempuan seumuran Ibunya itu. Hai itu dirasakan ketika mereka duduk dalam satu meja.Â
Dan kepekaan Niswari benar-benar terbukti. Ketika suatu hari Haris menemuinya untuk terakhir kali.
"Maafkan aku, Nis. Aku tidak bisa meluluhkan kerasnya hati Ibuku. Beliau menolak ketika kukatakan aku ingin segera melamarmu," Haris berkata pelan tanpa berani menatap wajah Niswari.
"Jelaskan apa alasannya," suara Niswari bergetar.
"Karena---ah, kamu pasti tidak akan percaya jika kukatakan ini," Haris menghela napas. Ada perasaan ragu yang berusaha disembunyikannya.
"Aku akan mencoba mengerti," Niswari tersenyum. Ia sudah siap mendengar apapun yang akan dikatakan Haris.
"Baiklah, " Haris mengangkat kepalanya sedikit. Menatap Niswari yang duduk di sampingnya dengan tubuh mematung.Â
"Suatu malam Ibuku bermimpi melihat seorang gadis yang akan menjadi menantunya, Nis. Tapi gadis itu bukan dirimu." Haris berkata lirih.
Niswari mengangguk.
***
Jika kehadiran Basuki---atau ia biasa memanggilnya Pak Bas, menjadi semacam oase di padang tandus, sekali lagi, Niswari hanya ingin menyudahi takdir yang selama ini dianggapnya tak pernah berhenti mengajaknya bermain-main.