Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Suatu Siang di Benteng Jalur Perbatasan

19 Juni 2019   20:55 Diperbarui: 20 Juni 2019   02:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak di dalam kandungan Ibu sudah mendidik dan mengajariku menjadi anak pemberani. Terbiasa dengan bunyi bom yang menggelegar atau desing peluru yang tiba-tiba saja melesat teramat dekat di sekitar kami. Hingga aku lahir di barak pengungsian, di antara berkecamuknya perang, Ibu tetap menyemangatiku dan berupaya melindungi agar aku tetap hidup.

Sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis yang cukup umur. Dan aku tetap bertahan tinggal di tanah yang menghitam akibat berkali-kali diserang dan dibumihanguskan oleh tentara musuh. 

Sejujurnya aku tidak suka perang. Aku selalu berharap gencatan senjata akan segera berakhir. Itu mimpiku yang paling besar. Tapi apa dayaku? Aku terlanjur ditakdirkan menjadi salah satu penghuni bumi bersengketa yang selama hidupnya harus mengakrabi perang.

Demi menunjukkan rasa kecintaan terhadap tanah  air, aku mengikuti jejak Ibu. Menjadi sukarelawan di dapur umum. Memasak dan mengantarkan makanan untuk para tentara yang berjaga-jaga di sekitar benteng jalur perbatasan.

Hari itu, seperti biasa aku menenteng keranjang, berjalan tergesa menuju benteng perbatasan di mana sepasukan tentara menunggu jatah makan siang.

"Laila!" seruan itu membuat langkahku terhenti. Jamal, lelaki muda yang sudah kukenal baik itu berlari sigap menghampiriku.

"Kau agak terlambat siang ini, kenapa?" Jamal langsung meraup isi keranjang. Aku hanya tertawa. Ia memang selalu begitu. Selalu mengatakan aku datang terlambat meski sebenarnya tidak.

Sembari menunggu Jamal menghentikan gerakan tangannya, aku menatap sekeliling. Serasa ada yang aneh. Suasana tidak seperti biasanya. Lebih lengang. Hanya ada dua tiga orang tentara yang berdiri tak jauh dari benteng sepanjang 70 km dan setinggi 6 meter itu.

"Kemana mereka? Maksudku--teman-temanmu," pertanyaanku membuat Jamal tersedak. Buru-buru ia meraih botol air minum lalu menenggak isinya hingga tandas tak bersisa.

"Beberapa teman terserang sesak napas. Harus istirahat sejenak," Jamal menjelaskan seraya melempar botol minuman yang sudah kosong begitu saja. Aku menepi lalu duduk menggelosoh di dekat benteng yang berdiri kokoh. Menghilangkan penat sejenak. Membiarkan Jamal membagi-bagikan makanan kepada teman-temannya yang berulang kali melambaikan tangan.

Saat menyandarkan punggung pada benteng perbatasan itulah, tiba-tiba aku mendengar seseorang bicara padaku.

"Hai, Laila. Aku Attaya. Ahmed Attaya!"

Kepalaku meneleng. Mencari asal suara. Aku terhenyak saat menyadari bahwa suara itu berasal dari balik tembok benteng. 

Aku menempelkan satu telinga. Memastikan sekali lagi pendengaranku.

Dug! Dug!

"Laila, aku di sini," terdengar suara itu lagi.

"Attaya! Aku tidak bisa melihatmu!" aku berseru gugup setelah yakin bahwa aku tidak salah dengar.

"Ada retakan kecil di bagian tembok paling bawah, Laila. Coba periksalah!" suara berat dari balik tembok itu memanduku. Seketika mataku meneliti. Dan benarlah. Ada lubang angin seukuran tutup botol berada di bagian bawah tembok benteng.

Attaya memberi tanda dengan menjulurkan satu jari kelingkingnya.

"Sentuh tanganku ini, Laila. Aku sama sepertimu.  Aku mengecam perang," Attaya berkali-kali menggerakkan jari kelingkingnya. 

Tiba-tiba saja aku membayangkan sosok Attaya yang berada di balik benteng sana. Ia pasti seorang pria yang lembut hati dan ramah. Hal itu bisa kurasakan dari caranya bertutur kata. 

"Bagaimana kau tahu aku tidak suka perang?" aku menggeser tubuhku, semakin mendekatkan wajah ke arah dinding benteng. Hidungku nyaris menyentuh ujung jari kelingking Attaya.

"Dari perbincangan kalian--kau dan teman tentaramu itu. Kudengar kau selalu bertanya, kapan perang akan berakhir?" suara dari balik tembok terdengar lagi.

"Apakah kau juga seorang tentara?" aku bertanya seraya tersenyum. Entah mengapa hatiku mendadak berbunga-bunga.

"Aku terkena wajib militer, Laila."

Attaya.

Sejak siang itu aku semakin bersemangat mengantarkan makanan untuk para tentara yang berjaga-jaga di sepanjang benteng jalur perbatasan. 

Ya, benar. Itu supaya aku bisa lebih sering bercakap-cakap denganmu.

***

Siang itu--di akhir pekan bulan kesekian, suasana benar-benar genting. Tentara musuh membombardir habis-habisan wilayah kami dari segala mata penjuru. Untuk sementara Ibu melarangku berkeliaran di sekitar benteng. Meski berulang kali aku memohon.

"Tunggu sampai keadaan membaik, Laila," Ibu menegaskan.

"Tapi, Bu..."

"Kau tidak mengikuti berita hari ini, Laila? Ada dua tentara kita yang gugur di sekitar jalur perbatasan," Ibu menarik napas panjang. "Tapi untunglah situasinya berimbang."

"Maksud Ibu?" tiba-tiba hatiku merasa tidak tenang.

"Dua tentara di pihak musuh diberitakan juga tewas."

Attaya!  Mendadak aku teringat dia.

Tanpa mengindahkan peringatan Ibu aku berlari secepat kilat keluar dari tenda pengungsian.

"Attaya! Attaya!" aku berteriak sekeras-kerasnya begitu sampai di benteng perbatasan. Satu jariku kumasukkan ke lubang angin. Berharap Attaya menyentuhnya seperti biasa. 

Tapi suasana tetap hening. Hanya sesekali terdengar suara debu menderu ditiup angin.

"Attaya! Jawablah! Apakah kau baik-baik saja?"

Aku baru saja menarik kembali jemari tanganku dan bersiap menempelkan satu mata agar bisa melihat Attaya di seberang tembok sana, ketika dua orang tentara berseragam menggelandangku. Menarik kerah bajuku dengan kasar hingga tubuhku nyaris terjengkang.

"Jamal?" aku terperangah. Menatap Jamal dan seorang temannya yang mencengkeram kuat-kuat pundak kurusku.

"Kau tahu hukuman apa bagi gadis-gadis kita yang jatuh cinta pada tentara musuh, Laila?" Jamal menatapku seraya tersenyum sinis.

"Apa hakmu melarangku mencintai Attaya, Jamal?" aku membalas tatapan Jamal tak kalah sengit. Jamal meludah. Lalu tangannya yang kekar sigap berpindah, mengokang senjata dan diarahkan tepat ke dadaku.

Aku tersenyum. Aku tahu sebentar lagi aku akan mati.

Dan seharusnya aku sudah mati ketika bunyi letupan senjata api itu nyaring terdengar.

Dor! Dor!

Tapi bukan aku yang terjatuh. Melainkan Jamal dan teman tentaranya. Tubuh keduanya bergedebum mencium tanah.

Sekilas aku melirik ke arah lubang angin yang terletak di bagian bawah dinding benteng. Ada moncong senjata bergerak-gerak dan masih menyisakan asap.

Attaya, kau-kah itu?

***

Malang, 19 Juni 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun