"Hai, Laila. Aku Attaya. Ahmed Attaya!"
Kepalaku meneleng. Mencari asal suara. Aku terhenyak saat menyadari bahwa suara itu berasal dari balik tembok benteng.Â
Aku menempelkan satu telinga. Memastikan sekali lagi pendengaranku.
Dug! Dug!
"Laila, aku di sini," terdengar suara itu lagi.
"Attaya! Aku tidak bisa melihatmu!" aku berseru gugup setelah yakin bahwa aku tidak salah dengar.
"Ada retakan kecil di bagian tembok paling bawah, Laila. Coba periksalah!" suara berat dari balik tembok itu memanduku. Seketika mataku meneliti. Dan benarlah. Ada lubang angin seukuran tutup botol berada di bagian bawah tembok benteng.
Attaya memberi tanda dengan menjulurkan satu jari kelingkingnya.
"Sentuh tanganku ini, Laila. Aku sama sepertimu. Â Aku mengecam perang," Attaya berkali-kali menggerakkan jari kelingkingnya.Â
Tiba-tiba saja aku membayangkan sosok Attaya yang berada di balik benteng sana. Ia pasti seorang pria yang lembut hati dan ramah. Hal itu bisa kurasakan dari caranya bertutur kata.Â
"Bagaimana kau tahu aku tidak suka perang?" aku menggeser tubuhku, semakin mendekatkan wajah ke arah dinding benteng. Hidungku nyaris menyentuh ujung jari kelingking Attaya.