"Dari perbincangan kalian--kau dan teman tentaramu itu. Kudengar kau selalu bertanya, kapan perang akan berakhir?" suara dari balik tembok terdengar lagi.
"Apakah kau juga seorang tentara?" aku bertanya seraya tersenyum. Entah mengapa hatiku mendadak berbunga-bunga.
"Aku terkena wajib militer, Laila."
Attaya.
Sejak siang itu aku semakin bersemangat mengantarkan makanan untuk para tentara yang berjaga-jaga di sepanjang benteng jalur perbatasan.Â
Ya, benar. Itu supaya aku bisa lebih sering bercakap-cakap denganmu.
***
Siang itu--di akhir pekan bulan kesekian, suasana benar-benar genting. Tentara musuh membombardir habis-habisan wilayah kami dari segala mata penjuru. Untuk sementara Ibu melarangku berkeliaran di sekitar benteng. Meski berulang kali aku memohon.
"Tunggu sampai keadaan membaik, Laila," Ibu menegaskan.
"Tapi, Bu..."
"Kau tidak mengikuti berita hari ini, Laila? Ada dua tentara kita yang gugur di sekitar jalur perbatasan," Ibu menarik napas panjang. "Tapi untunglah situasinya berimbang."