Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Pulang

23 Mei 2019   08:27 Diperbarui: 23 Mei 2019   08:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku baru saja selesai mengganti popok Aisyah ketika Rani muncul. Adik bungsuku yang hampir menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum itu mengambil duduk di tepi pembaringan.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya matanya tampak berbinar-binar menatap bayi mungil yang kubiarkan terlentang di atas kasur. Aku juga tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun. Cukuplah tadi siang, kami---aku dan Rani sedikit bersitegang. Membahas hal yang itu-itu juga.

Tentang pulang.

Ya. Seperti yang sudah-sudah, di setiap jelang Idul Fitri, adik bungsuku itu tak henti merayuku. Memintaku untuk pulang menemui Ayah dan Ibu.

"Sudah dua kali lebaran Mbak Ayu tidak sungkem ke hadapan orang tua kita. Itu dosa, Mbak. Cobalah untuk mengalah sedikit," masih terngiang kata-kata Rani tadi siang yang sempat membuat telingaku memerah.

"Memangnya selama ini aku tidak berusaha mengalah?" aku berkata agak emosional. Rani menarik napas panjang. Sepertinya ia sudah kehilangan cara untuk membujukku.

Aisyah bergerak-gerak lucu ketika pahanya yang montok kupuk-puk dengan bedak bayi. Rani mendekatkan kepalanya. Mencium lembut kening dan pipi keponakan kesayangannya itu berkali-kali.

"Tante besok mau mudik. Ais ikut tidak? Di sana ada Akung dan Uti. Ais bisa minta gendong sama mereka," Rani bicara pada Aisyah. Sedikit menyindirku. Aku hanya terdiam. Kualihkan perhatianku dengan mengangkat tubuh Aisyah. Lalu menyerahkannya kepada Rani.

"Nitip dia sebentar. Aku mau mandi."

***

Di dalam kamar mandi lama aku terpekur. Melemparkan pikiran jauh menerawang. Dan sampailah ingatanku pada peristiwa malam itu. Di mana Ayah dan Ibu mendudukkanku. Meminta kepastian dariku. Apakah aku bersedia menerima lamaran Radit, laki-laki pilihan mereka.

Sebenarnya aku bukanlah type gadis pembangkang. Kalau saja aku belum memiliki Mas Rangga, tentu dengan senang hati aku akan menuruti kehendak kedua orang tuaku.

Tapi aku terlanjur mencintai Mas Rangga. Lelaki sederhana yang hidup sebatangkara.

"Radit berasal dari keluarga terhormat, Ayu. Bisa dipastikan mampu mengangkat derajat kehidupan kita."

Deg. Kata-kata Ayah membuat dadaku menyesak.

"Ibu rasa, Radit memang lebih cocok untukmu, Ayu. Ketimbang si---siapa namanya dia? Rangga? Ya, si Rangga itu!" Ibu ikut-ikutan buka suara. Dan perkataan Ibu membuat Ayah mengernyit alis. 

"Ibumu benar, bibit, bobot, bebet dalam menentukan calon pendamping itu sangat perlu!" suara Ayah membuatku semakin jengah. Kali ini aku tersinggung. Benar-benar tersinggung. Tapi aku berusaha menahan diri. Bagaimanapun juga aku tidak ingin bersitegang dengan orang tuaku sendiri.

"Dari tadi kau hanya diam saja, Ayu. Katakan pada kami, apakah kau bersedia menerima lamaran Radit?" Ayah kembali menegaskan. Dan entah mendapat keberanian darimana mendadak mulutku lantang berkata, "Tidak! Ayu tidak mau menikah dengan Radit!"

Itulah awal mula terperciknya konflik di antara kami. Penolakanku dianggap sebagai pemberontakan si anak durhaka. Ayah dan Ibu tidak mau lagi bertegur sapa denganku. Mereka mengacuhkanku. Menganggap seolah-olah kehadiranku di rumah besar kami, tidak pernah ada.

Dan puncaknya adalah, ketika Mas Rangga memintaku secara baik-baik di hadapan mereka untuk mempersuntingku. Keadaan seketika berbalik arah. Kedua orang tuaku tegas menolak pinangan Mas Rangga.

Meski keputusan sepenuhnya berada di tanganku, toh hatiku tetap merasa sedih. Aku mencintai Mas Rangga. Aku mengasihinya. Aku ingin tetap menikah dengannya. 

Tapi aku juga mencintai kedua orang tuaku.

***

Akhirnya aku sampai pada keputusan yang paling berat. Aku harus rela meninggalkan rumah besar itu. Mengikuti Mas Rangga yang sudah resmi menjadi suamiku. Kami pindah ke luar kota dan menempati sebuah rumah kecil dan sederhana.

Dua tahun sudah aku menjadi istri dari seorang pegawai kantoran yang gajinya pas-pasan. Tapi aku merasa sangat bahagia. Karena Mas Rangga selalu berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab. Ia juga  seorang imam yang baik. Yang mampu membimbingku, menggantikan sosok--ah, kenapa tiba-tiba aku merindukan Ayah?

Suara tangis Aisyah membuatku bergegas menyelesaikan ritual mandiku. Masih berlilit handuk aku menghampiri Rani yang sibuk mendiamkan keponakannya.

"Aku buatkan susu sebentar, ya, Ran," ujarku seraya melangkah menuju dapur. Dan saat hendak menuang air panas ke dalam botol itulah mataku tertuju pada sebuah bungkusan kecil yang tergeletak di atas meja.

Kado itu lagi.

Setiap jelang Idul Fitri kurang beberapa hari seperti ini, selalu ada bingkisan misterius sampai ke rumah via pos. Tidak tercantum nama dan alamat si pengirim. Hanya tertera catatan kecil di sudut kanan atas bingkisan itu: Untuk Aisyah.

Dan aku selalu menduga-duga bahwa kado itu pemberian Rani.

"Kau selalu repot-repot menyisihkan tabunganmu untuk membelikan Ais bingkisan lebaran, Ran," aku menegurnya. 

"Mbak Ayu pasti tidak akan percaya. Kalau kukatakan, kado-kado untuk Ais itu sebenarnya kiriman dari Ayah dan Ibu." Rani menyahut seraya mengumbar senyum manisnya.

Mendadak jantungku berdegup tak beraturan mendengar ucapan Rani. Aku segera membuang pandangan ke luar jendela. Ada gerimis yang berusaha kutahan yang tiba-tiba ingin meluncur dari kedua mataku.

"Mereka merindukanmu, Mbak. Ayah dan Ibu kita. Besok kita pulang sama-sama, ya? Mas Rangga pasti senang mendengar kabar ini. Kalau biasanya ia menemui kedua mertuanya seorang diri, tahun ini ada yang menemani..." Rani mendekatiku. Menyerahkan Aisyah ke dalam pelukanku.

"Mas Rangga? Jadi selama ini setiap lebaran dia pulang menemui Ayah dan Ibu?" aku terperangah.

Rani semakin melebarkan senyumnya.

"Itulah payahnya dirimu, Mbak. Beruntung suamimu adalah laki-laki yang baik. Dia selalu sungkem di hadapan Ayah dan Ibu. Memintakan maaf untuk istrinya yang keras kepala!"

Aku tergugu.

Anak macam apa aku ini? Istri dan Ibu macam apa pula aku ini?

Bergegas aku meraih kopor kecil di sudut kamar. Sembari masih menggendong bayi mungilku, aku mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam lemari.

"Rani, bantu Mbak Ayu berkemas. Kita pulang sekarang!"

***

Malang, 23 Mei 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun