Di dalam kamar mandi lama aku terpekur. Melemparkan pikiran jauh menerawang. Dan sampailah ingatanku pada peristiwa malam itu. Di mana Ayah dan Ibu mendudukkanku. Meminta kepastian dariku. Apakah aku bersedia menerima lamaran Radit, laki-laki pilihan mereka.
Sebenarnya aku bukanlah type gadis pembangkang. Kalau saja aku belum memiliki Mas Rangga, tentu dengan senang hati aku akan menuruti kehendak kedua orang tuaku.
Tapi aku terlanjur mencintai Mas Rangga. Lelaki sederhana yang hidup sebatangkara.
"Radit berasal dari keluarga terhormat, Ayu. Bisa dipastikan mampu mengangkat derajat kehidupan kita."
Deg. Kata-kata Ayah membuat dadaku menyesak.
"Ibu rasa, Radit memang lebih cocok untukmu, Ayu. Ketimbang si---siapa namanya dia? Rangga? Ya, si Rangga itu!" Ibu ikut-ikutan buka suara. Dan perkataan Ibu membuat Ayah mengernyit alis.Â
"Ibumu benar, bibit, bobot, bebet dalam menentukan calon pendamping itu sangat perlu!" suara Ayah membuatku semakin jengah. Kali ini aku tersinggung. Benar-benar tersinggung. Tapi aku berusaha menahan diri. Bagaimanapun juga aku tidak ingin bersitegang dengan orang tuaku sendiri.
"Dari tadi kau hanya diam saja, Ayu. Katakan pada kami, apakah kau bersedia menerima lamaran Radit?" Ayah kembali menegaskan. Dan entah mendapat keberanian darimana mendadak mulutku lantang berkata, "Tidak! Ayu tidak mau menikah dengan Radit!"
Itulah awal mula terperciknya konflik di antara kami. Penolakanku dianggap sebagai pemberontakan si anak durhaka. Ayah dan Ibu tidak mau lagi bertegur sapa denganku. Mereka mengacuhkanku. Menganggap seolah-olah kehadiranku di rumah besar kami, tidak pernah ada.
Dan puncaknya adalah, ketika Mas Rangga memintaku secara baik-baik di hadapan mereka untuk mempersuntingku. Keadaan seketika berbalik arah. Kedua orang tuaku tegas menolak pinangan Mas Rangga.
Meski keputusan sepenuhnya berada di tanganku, toh hatiku tetap merasa sedih. Aku mencintai Mas Rangga. Aku mengasihinya. Aku ingin tetap menikah dengannya.Â