Tapi aku juga mencintai kedua orang tuaku.
***
Akhirnya aku sampai pada keputusan yang paling berat. Aku harus rela meninggalkan rumah besar itu. Mengikuti Mas Rangga yang sudah resmi menjadi suamiku. Kami pindah ke luar kota dan menempati sebuah rumah kecil dan sederhana.
Dua tahun sudah aku menjadi istri dari seorang pegawai kantoran yang gajinya pas-pasan. Tapi aku merasa sangat bahagia. Karena Mas Rangga selalu berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab. Ia juga  seorang imam yang baik. Yang mampu membimbingku, menggantikan sosok--ah, kenapa tiba-tiba aku merindukan Ayah?
Suara tangis Aisyah membuatku bergegas menyelesaikan ritual mandiku. Masih berlilit handuk aku menghampiri Rani yang sibuk mendiamkan keponakannya.
"Aku buatkan susu sebentar, ya, Ran," ujarku seraya melangkah menuju dapur. Dan saat hendak menuang air panas ke dalam botol itulah mataku tertuju pada sebuah bungkusan kecil yang tergeletak di atas meja.
Kado itu lagi.
Setiap jelang Idul Fitri kurang beberapa hari seperti ini, selalu ada bingkisan misterius sampai ke rumah via pos. Tidak tercantum nama dan alamat si pengirim. Hanya tertera catatan kecil di sudut kanan atas bingkisan itu: Untuk Aisyah.
Dan aku selalu menduga-duga bahwa kado itu pemberian Rani.
"Kau selalu repot-repot menyisihkan tabunganmu untuk membelikan Ais bingkisan lebaran, Ran," aku menegurnya.Â
"Mbak Ayu pasti tidak akan percaya. Kalau kukatakan, kado-kado untuk Ais itu sebenarnya kiriman dari Ayah dan Ibu." Rani menyahut seraya mengumbar senyum manisnya.