Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Edelweis Biru

5 Februari 2019   09:38 Diperbarui: 5 Februari 2019   10:26 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:weheartit.com

"Zer, please jangan pergi," aku memohon. Zer menatapku sekilas. Lalu mengalihkan pandangan ke arah tali sepatunya yang terlepas.

"Zer, aku mengkhawatirkanmu," mataku mulai memanas.

"Ada apa denganmu, Ra? Bukankah kau sudah paham mendaki adalah duniaku?" Zer bergumam sembari berjongkok mengikat erat-erat tali sepatunya. Kemudian melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. 

"Teman-teman sudah menungguku di basecamp, Ra. Aku harus berangkat," Zer berdiri, berbalik badan. Tersenyum sebentar ke arahku.

 "Aku janji akan membawakan Edelweis biru. Akan kujadikan mahkota di kepalamu," ujarnya lagi seraya menyentuh pipiku dengan ujung jemarinya. Tubuhku bergetar. Jujur, aku ingin Zer mengurungkan niat. Tidak jadi berangkat. Aku ingin ia tetap berada di sini. Di sisiku.

"Tunggu sampai aku pulang, ya, Ra," ia menarik jemarinya perlahan. Lalu memunggungiku. Berlalu pergi.

Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mulut Zer---satu tahun lalu. Dan hingga detik ini aku masih belum berhenti menyesali. Mengapa aku tidak mampu menahannya agar tidak pergi.

Andai saja ia tidak jadi berangkat mendaki gunung siang itu. Andai saja ia mau mendengar kata-kataku. Ah, andai saja.

Ya. Beragam andai berebut berlompatan dari kepalaku.

Mengapa saat itu aku begitu mengkhawatirkan kepergianmu, Zer? Firasat. Mungkin itulah penyebabnya. Dan benarlah, kau ternyata tidak pernah kembali. Kau tidak pernah pulang lagi. Kau dinyatakan hilang bersama dua rekan seperjalanan dalam pendakian menuju puncak Gunung Semeru.

Zer yang sangat kucintai. Zer yang menjanjikan Edelweis biru untuk mahkota di kepalaku.

"Ra, tunggu!" suara Nayla membuyarkan lamunanku. Nayla, sahabatku satu-satunya di SMK Jurusan Keperawatan ini, sekaligus teman sekamarku, berlari-lari menghampiri.

"Sudah menemui dokter Ilyas?"

Aku menggeleng.

"Pantas saja. Dokter muda itu menanyakan kamu terus," Nayla menggamit lenganku. Aku bergeming.

"Ada apa, Ra? Apakah kamu sakit?" Nayla mengamati wajahku yang murung.

"Nay, hari ini satu tahun kepergian Zer," aku berkata lirih.

"Ra, Zer sudah tenang di alam sana. Kamu jangan sedih begitu. Yuk, kita sama-sama kirim doa terbaik buat Zer, ya," Nayla menatapku seraya tersenyum. Aku menelan ludah. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.

"Nay, aku masih dan selalu tak berhenti berharap Zer pulang membawakan Edelweis biru untukku."

Dan aku mulai terisak.

***

Malam baru saja bergulir. Aku menyalakan lilin di atas meja kamar. Foto Zer kuletakkan di samping lilin yang sesekali apinya bergerak tertiup angin.

Zer tersenyum. Dalam pose tegak memegang bendera Merah Putih di atas puncak gunung.

Zer, serasa baru kemarin aku melihatmu mengikat erat tali sepatu di hadapanku.

"Ra, ada kiriman paket untukmu," suara Nayla membuatku menoleh. Aku berdiri. Nayla menyodorkan sebuah kado kecil berwarna biru muda.

"Tak ada nama pengirimnya?" aku memicing mata. Nayla mengangkat bahu.

"Semoga bukan bom, ya, Ra," Nayla berseloroh. Tanganku segera merobek kertas pembungkus berwarna biru muda itu. Selembar foto terselip di dalamnya.

Hatiku berdegup.

Foto bunga Edelweis.

Bersamaan itu ponsel di atas meja bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.

Ra. Sudahkah kau terima Edelweis biru dariku? 

"Nayla, lihat ini! Benarkan instingku? Zer masih hidup! Dia mengirimi aku foto Edelweis---Edelweis biru, Nay!" aku berjingkrak kegirangan bagai bocah kecil mendapat hadiah ulang tahun dari Ibunya.

Nayla seketika menyentuh pundakku.

"Ra. Ini bukan foto Edelweis biru. Edelweis biru itu tidak pernah ada."

Aku terdiam. Mataku nanar. Meneliti sekali lagi foto di tanganku. Dan Nayla benar. Foto yang kulihat ternyata hanya Edelweis biasa.

"Lalu pesan ini, Nay? Siapa pengirimnya kalau bukan Zeriko?" aku menyodorkan ponselku ke arah Nayla dengan kasar.

"Itu pesan dari Dokter Ilyas. Baca lagi dengan teliti, Ra," Nayla mengembalikan ponselku.

Yah, Nayla benar lagi. Aku salah baca. Bukan pesan singkat dari Zer. Tapi dari Dokter Ilyas.

Tapi tunggu dulu. Mengapa Dokter muda itu mengirimi aku foto Edelweis? Apakah ia juga seorang pendaki?

"Nayla, antarkan aku sekarang juga bertemu Dokter Ilyas!" aku berseru gugup.

***

Ruang praktek Dokter Ilyas masih benderang. Setelah memeriksa pasien terakhir, aku menerobos masuk.

"Ra?" Dokter Ilyas terkejut melihatku.

"Apa maksud Dokter mengirimi aku foto Edelweis ini?" aku mencecar dengan pertanyaan yang sejak tadi mengendap di kepalaku. Dokter muda itu tersenyum.

"Duduklah dulu, Ra. Akan kuceritakan sesuatu kepadamu."

Aku menarik kursi. Menatap wajah Dokter Ilyas dengan pandang kian nanar.

"Kau siap mendengarku, Ra?"

"Please, Dokter. Segera ceritakan."

"Oke, satu tahun yang lalu aku bertugas di sebuah dusun terpencil di lereng Gunung Semeru. Suatu hari datang serombongan penduduk membawa seorang pendaki yang terluka. Dia mengalami cedera yang cukup parah. Tulang rusuknya patah dan terjadi pendarahan hebat di kepalanya. Aku berusaha menolongnya. Namun sayang usahaku tak membuahkan hasil. Nyawa pendaki itu tidak tertolong. Tapi sebelum dia menutup mata, pendaki itu sempat berbisik di telingaku. Edelweis biru untuk kekasihku, Ra."

Aku menangis mendengar cerita Dokter Ilyas. Aku yakin pendaki itu pasti Zer.

"Pendaki itu menggenggam dua foto di tangannya. Satu foto Edelweis dan satu lagi foto seorang gadis. Aku menyimpan kedua foto itu baik-baik. Berharap suatu hari aku bisa bertemu gadis bernama Ra itu dan menyerahkan foto Edelweis dari pendaki yang naas itu. Akhirnya harapanku terkabul. Kita bertemu di Rumah Sakit ini. Dari penuturan Nayla aku yakin bahwa kamu adalah Ra kekasih pendaki itu. Maafkan aku, Ra. Mungkin pemberitahuanku ini agak terlambat bagimu," Dokter Ilyas mengakhiri ceritanya.

"Terima kasih, Dokter. Aku lega bisa mengetahui keadaan Zer sesungguhnya. Selama ini aku sulit meyakini bahwa Zer sudah mati," aku menghapus airmata dengan ujung lengan kemejaku.

Nayla yang sejak tadi berdiri di sampingku mengelus lembut pundakku. Lalu membimbingku berdiri.

Sebelum meninggalkan ruang kerja Dokter Ilyas, tanpa sengaja mataku tertuju pada kaki dokter  muda itu.

Aku terperangah. Dokter muda itu---ia mengenakan sepatu gunung milik Zer!

"Dokter! Anda telah merampas milik Zer. Kembalikan sepatu itu!" aku berteriak histeris. Sesaat aku kehilangan kontrol emosiku.

"Ra, tenanglah!" Nayla mencoba membujukku. Dokter Ilyas membetulkan letak kaca matanya. Wajahnya yang putih---dalam pandanganku, tiba-tiba saja berubah menjadi licik dan amat menyeramkan.

"Jangan mangkir Dokter! Anda pasti telah membunuh Zer!" Aku meronta sekuat tenaga.

Dua orang laki-laki berseragam putih-putih, berperawakan tinggi besar datang mencengkeram pundakku.

"Berikan suntikan penenang. Lalu bawa pasien itu kembali ke kamar perawatan!" suara dokter Ilyas, lantang memberi perintah.

Dan, sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, lamat-lamat aku melihat Zer datang mengendarai awan. 

Ia menghujaniku dengan bertumpuk Edelweis biru di kepalaku. 

****

Malang, 05 Februari 2019

Liilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun