Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wayang | Karna, Buah Cinta yang Terbuang

19 Januari 2019   10:48 Diperbarui: 19 Januari 2019   10:59 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:pinterest.com

-----

Dalam wiracarita Mahabarata, disebutkan---Karna adalah putra dari Dewi Pritha.

Siapa Dewi Pritha? 

Dewi Pritha adalah putri Prabu Surasena dari Wangsa Yadawa. Ia gadis yang amat cantik memesona.

Apa? Masih gadis sudah memiliki anak? Apakah itu berarti Dewi Pritha telah melakukan tindak asusila hingga menyebabkan ia...

Tunggu dulu! Bukan seperti itu kisahnya. Dewi Pritha sejak kecil dididik secara baik-baik oleh kedua orangtuanya. Ia santun, berbudi luhur dan berhati lembut.

Tersebutlah Raja Kuntiboja, masih sepupu dekat Prabu Surasena yang akhirnya dipercaya mengadopsi Dewi Pritha. Tersebab sang Prabu tidak memiliki keturunan seorang pun. 

Dari Prabu Kuntiboja inilah Dewi Pritha beralih nama menjadi Dewi Kunti.

Adalah Resi Durwasa yang tinggal bersama keluarga Prabu Kuntiboja, menghadiahkan mantra sakti kepada Dewi Kunti. Mantra yang bisa memanggil para dewa di kahyangan. Mantra itu diberikan sebagai rasa sayang dan balas budi karena Dewi Kunti telah merawat dan melayani sang resi dengan amat baik selama lelaki sepuh itu mengabdi di kerajaan ayahandanya. 

Terdorong rasa penasaran, suatu hari Dewi Kunti diam-diam ingin menjajal keampuhan mantra yang telah diterimanya. Iapun merapal mantra Adithyahredaya tersebut di bawah pohon yang rindang. Sembari menatap matahari yang sedang bersinar cerah. 

Tiba-tiba langit berubah mendung. Disertai petir menggelegar saling bersahutan.

Melihat perubahan alam yang mendadak seperti itu, Dewi Kunti menggigil ketakutan. Wajah cantiknya yang semula ceria berubah menjadi pucat pasi.

Ada apa gerangan? 

Tak henti hati Dewi Kunti bertanya-tanya.

Sementara nun jauh di langit, Dewa Surya yang sedang menjalani lelaku semedi, terjaga. Telinganya terusik oleh lantunan merdu mantra yang entah dirapal oleh siapa.

Sang dewapun bergegas turun ke bumi.

Setelah mencari-cari ke sana kemari, dilihatnya seorang gadis tengah duduk meringkuk di bawah sebatang pohon. Tahulah Dewa Surya, kiranya gadis itulah yang telah mengusik ketenangannya.

"Kau memanggilku, cah ayu?" Dewa Surya mendekat. Dewi Kunti seketika terkejut. Ia tidak mampu membuka suara. Mulutnya seolah terkunci.

Mahluk apa ini? Dia-kah sang dewa itu?

 "Hai, jangan diam begitu. Jawablah! Mengapa tiba-tiba kau memanggilku?" Dewa Surya terlihat mulai kesal. 

"Saya---hanya ingin mencoba mantra sakti itu, Pukulun," akhirnya Dewi Kunti menyahut.

"Ladalah, mantra kok dicoba-coba!" Dewa Surya meninggikan nada suaranya. Membuat hati Dewi Kunti semakin menciut.

"Maafkan saya, Pukulun. Jika berkenan, silakan Pukulun kembali lagi ke Kahyangan, eh, maksud saya..." 

Dewa Surya menyipitkan kedua matanya, menatap gadis di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak ia merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa menjalari sekujur tubuhnya. 

Rasa suka.

Dan selanjutnya, muncul keisengan di dalam diri sang dewa. Ia ingin menggoda Dewi Kunti yang masih tunduk membenamkan kepalanya.

"Aku ingin memberimu seorang anak," Dewa Surya tersenyum simpul. Dewi Kunti sontak njenggirat. Kaget. Pipinya yang ranum memerah dadu.

"A-nak? Pukulun hendak meng-apakan diri saya?" Dewi Kunti melontarkan pertanyaan yang agak ambigu. Dewa Surya tidak menyahut. Ia memejamkan mata. Lalu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. 

Tangan itu seketika mengeluarkan cahaya putih yang menyilaukan.

Dewi Kunti terkesima. Sebelum sempat bibirnya mengatakan sesuatu, Dewa Surya sudah menyodorinya seorang bayi laki-laki mungil yang tampan. Bayi berpakaian lengkap selayak dirinya.

 "Ini anakmu. Anak kita. Buah cinta kita. Dan ini sekaligus hukuman manis buatmu, duhai, gadis cantik yang suka bermain-main dengan mantra," Dewa Surya berkata sembari tersenyum.

Dewi Kunti hampir menangis mendengarnya.

***

Dewi Kunti masih duduk terpekur di bawah pohon besar seraya membopong bayi mungil di dalam pangkuannya.

"Kuberi nama bayi kita ini Karna. Yang berarti talingan atau pendengaran," masih terngiang kata-kata Dewa Surya beberapa waktu lalu, sebelum ia pergi menuju kahyangan.

Dalam versi lain wiracarita, disebutkan, nama Karna berarti bayi yang dilahirkan lewat telinga. Di mana Dewa Surya sengaja melakukannya demi menjaga keperawanan Dewi Kunti agar tetap utuh.

Kembali ke Dewi Kunti.

Kehadiran Karna yang tidak disangka-sangka itu, tak pelak membuat perasaannya kian diliputi gundah gulana. Bagaimana jika ayahanda atau orang-orang terdekatnya tahu ia sudah memiliki seorang anak? Tidakkah mereka akan menghujatnya habis-habisan? Atau, bisa jadi mereka akan mengusir dan tidak mengakuinya lagi sebagai bagian dari kerajaan Yadawa.

Berpikir demikian, mendadak hati Dewi Kunti menjadi gelap. Ia nekat memasukkan bayi Karna ke dalam sebuah peti. Kemudian, dengan mata terpejam ia menghanyutkan bayi itu di sebuah sungai tak jauh dari tempatnya bersimpuh.

Tapi Dewa Surya---sang ayah, datang melindungi bayi tak berdosa itu. 

Seorang sais yang tengah melintas di atas jembatan, tanpa sengaja melihat sebuah peti kimpul-kimpul di atas permukaan air. Sais itu bergegas turun guna mengentas peti mencurigakan itu.

Dan, alangkah terkejutnya laki-laki penarik pedati itu. Saat membuka peti, ia menemukan seorang bayi tampan, berpakaian ala dewa-dewa---tersenyum lebar lalu melompat lincah ke dalam pelukannya.

***

Malang, 19 Januari 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun