Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Saat Lelaki Itu Harus Pulang

9 November 2018   12:15 Diperbarui: 9 November 2018   18:18 1581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harusnya kau pulang ke rumahku, Diar. Bukan ke rumah yang lain. Bisikku dalam hati. Hanya dalam hati.

Aku merasakan ada percik api cemburu yang meletup-letup, yang tentu saja tidak boleh aku biarkan. Harus segera kupadamkan.

Tidak. Aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Aku ingin melepas kepulangan Diar ke 'rumahnya yang lain' dengan langkah ringan tanpa beban.

Toh meski begitu aku tetap tidak bisa menyembunyikan, entah perasaan apa.

Dan orang pertama yang bisa membaca perubahan air mukaku adalah Ibu.

Juga ketika aku merajuk memeluk guling seharian di dalam kamar, Ibu tak lelah bolak-balik menengokku. Menawari aku minum, atau sekadar memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Sampai akhirnya aku tidak mampu lagi menahan gejolak hatiku. Juga pertahanan airmataku.

"Kau ingin Ibu mengatakan sesuatu, Rin?" Ibu duduk di tepi pembaringan. Tangannya yang lembut terasa hangat menyentuh ujung kakiku. Dalam isak yang nyaris tak terdengar aku mengangguk.

"Baiklah. Jika ini menyangkut masalah Diar, Ibu hanya bisa mengingatkan, hidup adalah pilihan, Rin. Kau sudah menjatuhkan pilihanmu pada lelaki itu. Dan itu berarti kau sudah siap pula menanggung semua risikonya," Ibu berkata pelan. Aku kian erat memeluk guling.

Ibu benar. Sangat benar.

"Atau kau mulai menyesali apa yang sudah menjadi pilihanmu?" Ibu membetulkan letak selimutku yang tersingkap. Aku menggeleng.

"Tidak, Bu. Bukan begitu. Aku--aku hanya tidak mengerti, mengapa aku sangat mencintai lelaki itu," aku menjawab terbata.

"Jika sudah bicara masalah cinta, Ibu rasa tidak ada yang perlu dibahas lagi. Biarkan perasaanmu mengalir. Biarkan cinta itu hadir. Jangan sekali-sekali berupaya membunuhnya. Sebab semakin kau bunuh, ia semakin tumbuh subur. Kau paham apa yang Ibu maksudkan, bukan?" Ibu berdiri, meraih tisu di atas meja lalu menyeka pipiku yang basah.

Aku terdiam. Menatap mata perempuan yang telah melahirkanku itu.

Dan dari mata tuanya aku bisa melihat banyak hal.

Termasuk bagaimana mencintai yang sesungguhnya.

***

Sabtu dan Minggu. Adalah dua hari yang ingin kuhindari--dan kulupakan. Sebab di dua hari itu aku kehilangan suara renyah Diar. Tawanya yang ceria. Juga kalimat-kalimatnya yang tak pernah bosan membangkitkan semangatku.

Masih bisa kuingat dengan baik. Bagaimana awal mula kami bercakap-cakap via telpon.

"Kupikir aku akan mendengar suara semacam petir menggelegar. Bukan suara lembut seperti alun gerimis begini," ujarnya saat pertama kali mendengar suaraku.

"Aku tidak suka dirayu," sergahku bersungguh-sungguh. Ia tertawa. Tawa lepas yang mendadak mampu mencuri hatiku.

"Sayang sekali aku juga tidak suka merayu," ia membalas ucapanku dengan nada bercanda. Dan entah bagaimana proses rasa suka itu menggelincir. Melibas hati kami. Lalu membiarkan semuanya terjadi begitu saja di luar kehendak kami.

Kami saling jatuh cinta.

Apakah itu salah?

"Tak ada yang patut dipersalahkan dari cinta yang tumbuh ini. Bukankah Tuhan menciptakan rasa itu untuk disyukuri?" Diar berusaha meyakinkan hatiku. Aku ingin membenarkan. Tapi hati kecilku seolah dikejar-kejar oleh perasaan yang entah, aku harus menyebutnya apa.

Ketakutan, mungkin.

Dan ketakutanku bukan tanpa alasan. 

Aku mendesah. Berapa lama sudah aku kehilangan perasaan indah seperti ini? Sepuluh tahun, lima belas tahun, atau bahkan lebih. Sejak kegagalan demi kegagalan mengakrabi hidupku. Sejak cintaku terenggut oleh suatu...

Ah!

Sekarang keadaannya terbalik. Aku ingin marah kepada Tuhan atas segala rasa yang menurutku amat memalukan ini. Tapi jelas itu tidak mungkin. Tuhan pasti lebih tahu, mengapa manusia membutuhkannya. Membutuhkan cinta. Sekalipun cinta itu bisa jatuh pada tempat dan orang yang salah.

Ponselku berdering. Panggilan dari nomor yang sangat kukenal.

Ragu aku mengangkatnya.

"Ya, hallo..." aku menjawab seraya menarik nafas panjang.

"Selamat pagi Ai!" terdengar suara renyah itu.

"Kau seharusnya tidak menelponku, Diar," aku menelan ludah.

"Tapi aku ingin melakukannya."

"Kau seharusnya fokus pada kepulanganmu."

"Hatiku meminta fokus padamu..."

"Jangan ngegombal!"

"Aku tidak ngegombal, Ai. Aku bersungguh-sungguh..."

Lalu perbincangan mengalir seperti air. Sampai sekitar tiga puluh menit kemudian, saat Diar pamit mengakhiri percakapan, aku teringat sesuatu.

"Diar, bagaimana kau bisa menghubungiku? Bukankah saat kau 'pulang', kami tidak menyertakan hp kesayanganmu?"

Wangi bunga kamboja tiba-tiba menguar. Merasuk ke dalam ruangan melalui jendela yang dibiarkan terbuka.

Di ambang pintu kamar, kulihat Ibu murung menatapku.

***

Malang, 09 November 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun