"Tidak, Bu. Bukan begitu. Aku--aku hanya tidak mengerti, mengapa aku sangat mencintai lelaki itu," aku menjawab terbata.
"Jika sudah bicara masalah cinta, Ibu rasa tidak ada yang perlu dibahas lagi. Biarkan perasaanmu mengalir. Biarkan cinta itu hadir. Jangan sekali-sekali berupaya membunuhnya. Sebab semakin kau bunuh, ia semakin tumbuh subur. Kau paham apa yang Ibu maksudkan, bukan?" Ibu berdiri, meraih tisu di atas meja lalu menyeka pipiku yang basah.
Aku terdiam. Menatap mata perempuan yang telah melahirkanku itu.
Dan dari mata tuanya aku bisa melihat banyak hal.
Termasuk bagaimana mencintai yang sesungguhnya.
***
Sabtu dan Minggu. Adalah dua hari yang ingin kuhindari--dan kulupakan. Sebab di dua hari itu aku kehilangan suara renyah Diar. Tawanya yang ceria. Juga kalimat-kalimatnya yang tak pernah bosan membangkitkan semangatku.
Masih bisa kuingat dengan baik. Bagaimana awal mula kami bercakap-cakap via telpon.
"Kupikir aku akan mendengar suara semacam petir menggelegar. Bukan suara lembut seperti alun gerimis begini," ujarnya saat pertama kali mendengar suaraku.
"Aku tidak suka dirayu," sergahku bersungguh-sungguh. Ia tertawa. Tawa lepas yang mendadak mampu mencuri hatiku.
"Sayang sekali aku juga tidak suka merayu," ia membalas ucapanku dengan nada bercanda. Dan entah bagaimana proses rasa suka itu menggelincir. Melibas hati kami. Lalu membiarkan semuanya terjadi begitu saja di luar kehendak kami.