Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Separuh Bulan

6 November 2018   10:17 Diperbarui: 6 November 2018   10:46 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika pagi tiba, Ayah menggendongku. Membawaku ke belakang rumah. Memandikanku di bawah pancuran yang airnya mengucur dingin. Kaki kecilku menggigil. Berkecipak melompat-lompat seperti anak angsa yang baru belajar berenang.

"Ayah, suara gemericik air ini mengingatkanku pada suara Ibu," aku menatap mata Ayah.

"Ya, itu memang suara Ibumu," Ayah menyahut seraya mengangguk kecil.

Aku terdiam. Selalu begitu. Selalu jika aku bertanya atau membandingkan sesuatu dengan Ibu, Ayah akan mengatakan hal yang sama.

Seperti suatu siang, saat aku melihat hujan deras datang mengguyur. Membasahi rumput-rumput dan tanah yang kering di sekitar pelataran rumah. Rasa takjub membuatku berseru riang,"Ayah, hujan bernyanyi semerdu suara Ibu!"

"Ya, Nak. Itu memang suara merdu Ibumu."

Atau---di satu malam ketika aku tidak bisa tidur, Ayah akan mendudukkanku di atas pangkuannya. Membiarkan aku menikmati bulan purnama yang tengah bersinar penuh dari balik tirai jendela.

"Bulan malam ini terlihat sangat menawan, Ayah!" aku bergumam kagum.

"Ya, bulan memang selalu menawan, Nak. Seperti Ibumu."

Lalu aku tumbuh. Bersama waktu. 

Meski tidak kuat lagi menggendongku, Ayah masih suka sesekali menemani aku mandi di pancuran belakang rumah. Aku tahu, suara gemericik air yang jatuh dari pancuran itulah penyebabnya. Aku melihat Ayah berlama-lama berdiri, menatapku sembari bergumam lirih,"Suara Ibumu, Nak. Masih belum juga berubah."

***

Namaku Amarylis. Nama yang konon diambil dari nama bunga kesukaan Ibu.

"Amarylis adalah bunga yang sangat cantik. Secantik paras Ibumu," Ayah menjelaskan dengan wajah berseri-seri. Tentu saja aku sangat bangga mendengarnya.

Hingga kemudian aku beranjak menjadi gadis remaja. Dan mulai menerka-nerka dalam hati mengapa Ayah memilih menghabiskan sisa hidupnya hanya berdua denganku.

"Ibumu perempuan separuh bulan. Ia bidadari malam. Tentu saja Ayah tidak berkutik ketika ia menyampaikan keinginannya untuk pergi," tutur Ayah suatu senja, saat kami duduk berdua di teras rumah. Membicarakan kenangan manis tentang Ibu.

"Ayah terlalu lemah," sesalku. Ayah tersenyum. Senyum yang menyiratkan makna tersembunyi.

"Mengapa Ayah tidak berusaha mencari keberadaan Ibu?" aku bertanya hati-hati. Ayah menggeleng samar. Wajah tuanya mendadak murung. Dan itu sungguh, membuatku amat sangat merasa bersalah.

Sejak saat itu aku berjanji tidak akan bertanya apa-apa lagi kepada Ayah. Utamanya yang berkenaan dengan diri Ibu. Aku tidak ingin melihat Ayah bersedih.

Hingga suatu hari, Tante Widya, adik bungsu Ayah, datang menemuiku.

"Sebenarnya aku tidak suka mengatakan hal ini, Ryl. Karena itu berarti aku mengkhianati amanat Kakakku," Tante Widya ujug-ujug menyampaikan sesuatu yang tidak kumengerti.

"Tentang apa itu, Tante?"

"Tentang Ibumu."

Deg. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang dari biasanya.

"Apa yang Tante ketahui tentang Ibu?" tanyaku gemetar.

"Ibumu tinggal di kota kecil tidak seberapa jauh dari sini, Ryl. Kalau kau mau, Tante bisa memberikan alamatnya padamu."

***

Panas matahari yang menyengat sama sekali tidak menyurutkan langkahku menyusuri jalanan menuju kota kecil yang jaraknya tak lebih dari seratus kilometer dari dusun tempat tinggalku. Kota di mana Ibu tersesat dan lupa jalan menuju pulang.

Aku berhenti di depan sebuah bangunan megah berpagar besi tinggi.

Seorang satpam melihatku. Lalu bergegas menghampiri.

"Ada yang bisa dibantu?"

Aku membuka lipatan kertas di tanganku.

"Saya ingin bertemu Ibu Rika," ujarku seraya mengangguk kecil.

"Ibu Rika? Apakah Nona sudah membuat janji?" satpam itu mengernyit alis. Aku menggeleng. 

"Untuk bertemu beliau, Nona harus membuat janji terlebih dulu."

"Saya Amarylis. Saya putri Ibu Rika. Apakah seorang anak yang ingin bertemu Ibunya sendiri harus membuat janji?" aku menyergah. Satpam di hadapanku kian menautkan alis.

"Aku mengenal baik seluruh penghuni rumah ini. Dan jelas Nona bukan bagian dari mereka!" suara satpam mulai meninggi. Meski begitu sama sekali tidak menyurutkan niatku.

Aku bersikeras memasuki bangunan berhalaman luas itu. Di mana pintunya terlihat masih tertutup rapat.

Melihat kenekatanku, tangan kekar satpam mulai bergerak, berusaha mencegahku.

Terjadi keributan kecil.

Saat itulah sebuah mobil memasuki halaman. Berhenti tepat di samping taman yang sekitarnya dihiasi air terjun buatan.

Seorang perempuan cantik. Berpakaian elegan. Turun dari mobil dan langsung menghujamkan pandang ke arah kami--aku dan satpam bertubuh kekar itu.

"Ada apa, Ron?" perempuan itu bertanya dengan nada suara dingin.

"Hanya kesalahpahaman kecil, Nyonya. Gadis ini memaksa memasuki rumah minta bertemu dengan Nyonya. Kukira ia gadis yang agak terganggu pikirannya," satpam menjelaskan seraya mengubah posisi berdirinya menjadi sedemikian takzim.

Perempuan cantik itu melirik sekali lagi ke arahku. Tepatnya ke arah kakiku. Lalu berjalan menuju pintu, membukanya dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh atau berkata sepatah kata pun kepadaku.

"Bisa kau pergi sekarang? Aku tidak ingin Nyonya Rika marah lantas memecatku hanya gara-gara tidak becus mengurusi tamu aneh sepertimu!" satpam kekar itu kembali menggelandang lenganku. Aku mengibas.

"Tidak perlu mengusir saya sekasar ini! Saya akan pergi baik-baik. Dan tolong katakan pada Nyonya cantik majikan Anda itu, saya Amarylis menjadi paham sekarang--mengapa Ayah tidak mencegahnya pergi dari rumah kami saat itu," aku berjalan melenggang meninggalkan rumah besar berpagar besi tinggi itu, dengan perasaaan tercabik.

Langkahku kembali terseok menyusuri jalanan. Menuju setasiun di mana kereta api senja akan segera membawaku pulang.

***

Beberapa tahun kemudian.

Di teras rumah yang sederhana, aku duduk menemani dua laki-laki hebat yang sangat kucintai.

Langit malam itu tengah disinari bulan purnama.

"Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?" suara Ayah renyah. Mata tuanya yang teduh menatap kami--aku dan Mas Ilham, bergantian.

"Secepatnya Ayah. Usai Amaryl menyelesaikan skripsinya," Mas Ilham yang menjawab seraya menumpangkan satu tangan di atas paha kaki kiriku. Kaki yang bentuknya tidak sempurna sejak kecil. Kaki yang menderita polio. Kaki yang membuat Ibu--perempuan separuh bulan itu memilih pergi.

***

Malang, 06 November 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun