***
Namaku Amarylis. Nama yang konon diambil dari nama bunga kesukaan Ibu.
"Amarylis adalah bunga yang sangat cantik. Secantik paras Ibumu," Ayah menjelaskan dengan wajah berseri-seri. Tentu saja aku sangat bangga mendengarnya.
Hingga kemudian aku beranjak menjadi gadis remaja. Dan mulai menerka-nerka dalam hati mengapa Ayah memilih menghabiskan sisa hidupnya hanya berdua denganku.
"Ibumu perempuan separuh bulan. Ia bidadari malam. Tentu saja Ayah tidak berkutik ketika ia menyampaikan keinginannya untuk pergi," tutur Ayah suatu senja, saat kami duduk berdua di teras rumah. Membicarakan kenangan manis tentang Ibu.
"Ayah terlalu lemah," sesalku. Ayah tersenyum. Senyum yang menyiratkan makna tersembunyi.
"Mengapa Ayah tidak berusaha mencari keberadaan Ibu?" aku bertanya hati-hati. Ayah menggeleng samar. Wajah tuanya mendadak murung. Dan itu sungguh, membuatku amat sangat merasa bersalah.
Sejak saat itu aku berjanji tidak akan bertanya apa-apa lagi kepada Ayah. Utamanya yang berkenaan dengan diri Ibu. Aku tidak ingin melihat Ayah bersedih.
Hingga suatu hari, Tante Widya, adik bungsu Ayah, datang menemuiku.
"Sebenarnya aku tidak suka mengatakan hal ini, Ryl. Karena itu berarti aku mengkhianati amanat Kakakku," Tante Widya ujug-ujug menyampaikan sesuatu yang tidak kumengerti.
"Tentang apa itu, Tante?"