Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kinasih, Masih Ada Cinta Untukmu

28 Oktober 2018   23:10 Diperbarui: 29 Oktober 2018   00:30 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:lintangss.blogspot.com

Ayah Sang, begitu aku memanggilnya. Ia mengajari aku banyak hal. Membaca, menulis, memasak, juga menari. Ia begitu menyayangiku. Akibatnya aku sangat bergantung dan manja sekali padanya.

Meski kami tinggal hanya berdua, Ayah Sang selalu berusaha memberi yang terbaik untukku. 

Pagi hari saat bangun tidur, sarapan sudah terhidang di atas meja. Air hangat untuk mandi juga sudah tersedia di dalam bak besar. Ayah Sang rela melakukan semua itu untukku. Dan setelah aku menghabiskan sarapan, dengan senyum sumringah lelaki baik itu tak segan mengantarku pergi ke sekolah.

Begitu setiap hari. Kemanjaan ini aku terima dan aku rasakan nyaris tak pernah terhenti hingga usiaku beranjak remaja.

Aku masih ingat, suatu hari Ayah Sang terlihat amat panik ketika memergokiku meringis sembari memegangi perut bagian bawah.

"Kau sakit, Kinasih?"

Setengah mengerang aku mengangguk. Mengiyakan. Dan itu membuat wajah Ayah Sang bertambah cemas.

Dengan mengendarai sepeda motor bututnya, Ayah Sang bergegas melarikanku ke klinik terdekat.

"Bapak tidak perlu khawatir. Putri Bapak sedang mengalami kram jelang haid pertama," Bu bidan yang memeriksaku melempar senyum ke arah kami berdua.

"Oh, syukurlah. Saya khawatir Kinasih terserang penyakit serius," Ayah Sang menghela napas lega seraya menyeka peluh yang membasahi keningnya.

"Saya akan memberi obat pereda rasa nyeri. Nanti kalau nyerinya sudah hilang, pemakaian harap dihentikan," Bu bidan berdiri. Mengambil beberapa bungkus obat dari lemari kaca yang terletak di sudut ruangan.

Sepulang dari klinik, sebelum menutup pintu kamarku, Ayah Sang berpesan.

"Kinasih, kalau masih sakit bilang sama Ayah, ya."

Aku mengangguk. 

Rasa haru mendadak menyergapku.

***

Pagi itu Bu Dinda--guru kesenian, memanggilku dan meminta agar aku mengikuti ke ruangan guru.

"Kinasih, kau sudah siap? Besok pementasan tari akan digelar. Tapi kali ini tempatnya berbeda dengan yang biasa kita kunjungi," Bu Dinda menarik kursi dan memintaku duduk.

"Saya siap, Bu. Ayah Sang sudah melatih saya hampir setiap hari sepulang dari sekolah," aku menyahut pelan.

"Salut untuk kalian berdua. Terima kasih untuk Ayahmu yang sudah ikut berpartisipasi di setiap acara gebyar seni tari yag diadakan oleh SMP kita. Oh, ya. Besok jam tujuh pagi kita harus sudah berangkat," Bu Dinda melanjutkan. Aku mengangguk. 

Setelah memberi sedikit pengarahan, Bu Dinda memintaku untuk kembali ke ruang kelas, mengikut jam pelajaran berikutnya.

***

Sejak Subuh Ayah Sang mempersiapkan semuanya. Mulai dari membantu mengenakan kostum tari hingga merias wajahku. Ayah Sang melakukannya dengan amat teliti dan terampil.

"Kau mewarisi bakat Ibumu, Kinasih," suara Ayah Sang mendadak berubah murung. Selalu begitu. Setiap menceritakan perihal diri Ibu, aku melihat sekelebat kesedihan menggelayut di wajahnya.

"Mengapa Ibu pergi lama sekali, Ayah? Tidakkah ia merindukan kita?" aku ikut terhanyut suasana mendung yang tiba-tiba saja menguasai. Ayah Sang tidak menyahut. Tangannya yang kurus sibuk mengikat tali jamang di kepalaku.

"Kau menarilah sebaik Ibumu, Kinasih..."

Entah mengapa mendadak ada air yang mengambang di pelupuk mataku.

***

Panggung yang digelar tidak terlalu mewah. Tapi cukup semarak. Kursi-kursi untuk para undangan berjejer rapi. Sebagian bahkan sudah ditempati oleh tamu yang hadir tepat waktu.

Aku menunggu di balik panggung ditemani oleh Bu Dinda. Menunggu acara dimulai.

Masih beberapa menit lagi. Mataku masih bisa menyapu sekeliling. Memperhatikan dengan seksama, tempat apa yang sebenarnya tengah kami kunjungi ini.

Sebuah tulisan mencolok yang ditempel sebagai latar belakang panggung mencuri perhatianku.

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Ikut Serta Menyemarakkan Gebyar Seni dalam Rangka Peringatan Hari Sumpah Pemuda 

Aku nyaris bertanya banyak kepada Bu Dinda, ketika pembawa acara sudah naik ke atas panggung dan menyerukan susunan acara. 

Aku mendapat giliran pertama.

"Dalam gebyar seni kali ini, ada yang istimewa. Ananda Kinasih akan berkolaborasi tari dengan salah seorang penghuni lapas ini. Mereka akan membawakan Tari Merak!"

Belum juga rasa terkejutku hilang, alunan musik tari sudah terdengar. Aku bergegas menaiki anak tangga panggung.

Dari arah pintu yang berbeda. Seorang perempuan cantik, mengenakan busana tari yang sama denganku, hanya berbeda warna, berdiri menatapku. Perempuan cantik itu kemudian tersenyum. Menganggukkan kepalanya sedikit. 

Dan semuanya terjadi begitu saja. Kami tahu-tahu sudah menari bersama, dengan gerakan yang sama dan ekspresi wajah yang sama pula.

Ketika kami berdiri berdekatan--sangat begitu dekat, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu untuk bertanya.

"Siapakah Anda?"

Perempuan itu tidak menjawab. Ia masih mengumbar senyum sembari melempar pandang ke arah kursi penonton.

Alunan gending Tari Merak sudah berakhir. Kami--aku dan perempuan cantik itu menyudahi tarian dan berdiri saling berhadapan. Saling memberi hornat.

Tepuk tangan penonton membahana. Memberi apresiasi atas penampilan kami berdua. Dan pembawa acara kembali naik ke atas panggung seraya melontarkan kalimat-kalimat penuh kegembiraan.

"Selamat kepada Bu Nitri yang telah terpilih menjadi penghuni lapas teladan! Dan hari ini adalah hari pembebasan beliau!"

Tepuk tangan kembali terdengar. 

Seorang perempuan paruh baya, berseragam lengkap ikut naik ke atas panggung, menyerahkan rangkaian bunga kepada perempuan cantik itu.

"Terima kasih telah menginspirasi banyak penghuni lapas wanita di sini. Selamat pula atas kebebasanmu."

Aku ingin sekali ikut mengucapkan selamat. Tapi perempuan cantik itu lebih dulu merengkuh pundakku.

"Sanggurdi telah menjadikanmu seorang penari yang amat baik, Kinasih. Aku bangga padamu..." suara perempuan itu terdengar merdu di telingaku.

Tiba-tiba saja aku melihat Ayah Sang. Berjalan ke arah kami dengan langkah tegap. Lalu menuntun kami berdua menuruni anak tangga.

"Kinasih, akhirnya kau bisa berkumpul lagi dengan Ibumu," Ayah Sang tersenyum sumringah. 

Ah, sudah lama aku tidak melihat senyum kebahagiaan semacam itu.  

***

Malang, 28 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca juga runutan kisah:

Tarian Terakhir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun