Sejak Subuh Ayah Sang mempersiapkan semuanya. Mulai dari membantu mengenakan kostum tari hingga merias wajahku. Ayah Sang melakukannya dengan amat teliti dan terampil.
"Kau mewarisi bakat Ibumu, Kinasih," suara Ayah Sang mendadak berubah murung. Selalu begitu. Setiap menceritakan perihal diri Ibu, aku melihat sekelebat kesedihan menggelayut di wajahnya.
"Mengapa Ibu pergi lama sekali, Ayah? Tidakkah ia merindukan kita?" aku ikut terhanyut suasana mendung yang tiba-tiba saja menguasai. Ayah Sang tidak menyahut. Tangannya yang kurus sibuk mengikat tali jamang di kepalaku.
"Kau menarilah sebaik Ibumu, Kinasih..."
Entah mengapa mendadak ada air yang mengambang di pelupuk mataku.
***
Panggung yang digelar tidak terlalu mewah. Tapi cukup semarak. Kursi-kursi untuk para undangan berjejer rapi. Sebagian bahkan sudah ditempati oleh tamu yang hadir tepat waktu.
Aku menunggu di balik panggung ditemani oleh Bu Dinda. Menunggu acara dimulai.
Masih beberapa menit lagi. Mataku masih bisa menyapu sekeliling. Memperhatikan dengan seksama, tempat apa yang sebenarnya tengah kami kunjungi ini.
Sebuah tulisan mencolok yang ditempel sebagai latar belakang panggung mencuri perhatianku.
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Ikut Serta Menyemarakkan Gebyar Seni dalam Rangka Peringatan Hari Sumpah PemudaÂ