"Tapi kali ini, ya--khusus kali ini saja, aku tidak ingin terburu-buru. Aku masih ingin bermain-main denganmu, menikmati indahnya malam bersamamu," El mendekat. Ia menatap wajah pias lelaki di hadapannya itu. Lekat-lekat. Masih dengan seulas senyum beku dan pekat.
Aku pernah merindui lelaki rimbawan. Yang pada hatinya tumbuh bertangkai kembang mawar. Yang pada matanya kutemukan dua tombak panah berapi. Satu tombak berujung cinta dan satunya lagi--durjana.
El bergumam seolah membaca selarik mantra.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" perlahan tangan El mulai bergerak.Â
Untuk beberapa saat lamanya sekujur tubuh lelaki itu menegang.
***
Ketika jemari lentik El sudah sampai pada lehernya, lelaki itu berbisik pelan.
Kukuliti sunyi. Kurangkai menjadi titian asa agar segera menuntunku menujumu. Dan jika benar rindu bersembunyi di pelupuk mata rembulan, sebelum aku mati, aku tak akan segan menghadirkannya ke hadapanmu. Sebagai hidangan perjamuan pesta rindu kita, malam ini.
Entah itu bait puisi atau hanya sekelumit kalimat tak berarti. Lelaki itu tak peduli.
El terdiam. Tiba-tiba saja wajahnya terasa panas. Dan ia tak mampu lagi mencegah anak-anak gerimis berhamburan menari-nari di seputaran cahaya dingin kedua matanya.
"Kau...benar-benar lelaki keparat!" tubuh El gemetar. Lalu dengan sekali sentak ia melemparkan pisau di tangannya ke luar jendela.