Lelaki itu menghidu udara dalam-dalam. Dadanya terasa penuh. Ia tahu, sewaktu-waktu maut akan datang menjemputnya. Kapan saja dan di mana saja. Maut yang meminjam tangan seorang perempuan.
Ya, ia seperti hantu--perempuan itu. Ia bisa berada di mana-mana. Membayanginya. Di empat penjuru mata angin. Kemana pun kaki melangkah pergi, pasti lelaki itu akan bertemu dengannya.
Berkali-kali lelaki itu mencoba menghindar. Tapi berkali pula ia tak berdaya dan nyaris kehilangan nyawa.Â
Seperti kejadian Minggu lalu. Andai saja tidak diselamatkan oleh seorang detektif muda berbakat--Tuan Baron, ia yakin tubuhnya saat itu sudah terkoyak habis, dirajam seperti daging cincang. Kemudian dilempar ke dalam kandang singa yang berhari-hari tidak disuguhi makanan.
Lelaki itu bergidik. Ia teringat bagaimana sorot mata perempuan itu. Begitu dingin dan menghujam. Tajam. Lebih tajam dari ujung pisau berkilau, yang berkali-kali ditusukkan di atas dadanya.
"Kau pantas mati, kekasihku..." suara El yang lembut dan tenang justru membuatnya seperti terlempar ke dalam jurang tak bertepi yang teramat sangat dalam.
Lelaki itu tak berkutik. Begitu juga ketika El mendekatkan wajah tirusnya yang cantik lalu mendaratkan dua kecup hangat di keningnya.
"Satu kecupan selamat tinggal. Dan satu kecupan lagi, untuk  upacara penyambutan. Selamat datang di neraka, duhai lelaki bangsat!"
Lelaki itu kehabisan kata-kata. Ia pasrah.Â
Namun di sepersekian detik saat titik kesadarannya mulai melemah, Tuan Baron datang!
***