"Tapi, Mas, pencalonan dirimu begitu tiba-tiba dan--terkesan dipaksakan."
"Ah, tidak juga. Tidak ada istilah memaksa dan terpaksa di sini. Semua mengalir begitu saja." Bagas membetulkan letak duduknya. Ia menatap pemuda gondrong di hadapannya itu dengan senyum penuh percaya diri.
"Lantas apakah Mas juga sudah menyiapkan program kerja andalan seperti mereka?"
"Seperti kandidat-kandidat itu, maksudmu? Tentu saja sudah. Jangan menyepelekan tim suksesku, Bram. Mereka sudah menyiapkan serentetan program andalan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang."
"Contohnya?"
"Contohnya--menghadapi masalah banjir. Aku sudah tahu solusi terbaiknya."
Bram terdiam. Ia jadi teringat kata-kata Ajeng beberapa waktu lalu.
"Kau tahu Bram? Solusi apa yang bakal Mas Bagas paparkan untuk menangani banjir?" waktu itu Ajeng menatapnya dengan wajah sulit diterjemahkan. Bram menggeleng.
"Kota terapung, Bram! Coba bayangkan! Amazing, bukan?" Ajeng menaikkan nada suaranya. Seketika Bram menahan tawa.
"Kenapa, Bram?" Bagas yang tengah menyeruput kopi nyaris tersedak. Ia heran melihat pemuda gondrong itu cengar-cengir sendiri.
"Anu, Mas, tidak apa-apa. Cuma--kalau boleh jujur lagi, aku sependapat dengan Mbak Ajeng. Mas Bagas terlihat jauh lebih keren dan macho ketika memakai seragam prajurit ketimbang...."