Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Serial Mas Bagas) | Titah Sang Baginda

12 Agustus 2018   06:35 Diperbarui: 12 Agustus 2018   07:17 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.istockphoto.com

Kisah sebelumnya : Mas Bagas harus menuruti ambisi kedua orang tuanya terjun ke dunia politik. Meski sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya . Untunglah Ajeng, istrinya menyadari hal itu. Maka ketika harus debat kusir melawan pesaing-pesaingnya, disembunyikannya suaminya itu ke tengah hutan.

Lantas siapakah yang menggantikan Mas Bagas maju ke depan podium?  

--------------------------

Di dalam mobil, Ryan yang menyamar sebagai Bagas berusaha menyembunyikan kegelisahan. Bulir keringat berlomba membasahi keningnya yang licin. Meski AC mobil sudah dihidupkan, ia tetap saja merasa gerah. Apalagi di sampingnya duduk dua Baginda berwibawa yang sejak tadi memeluk erat lengan kekarnya.

Ryan merutuk dirinya sendiri. Hhh, kenapa juga ia grusa-grusu menerima tawaran Bram. Kenapa juga ia tidak bertanya secara detil peran apa sesungguhnya yang bakal dilakoninya.

Ia ingat sore itu Bram hanya mengatakan, "Tugasmu sangat mudah, Bro. Cuma menyamar sebagai Bagas. Aku yakin kamu pasti bisa. Bukankah kamu anak teater?" Bram menepuk pundaknya. Hanya itu. Lalu sohib gondrongnya itu menyelipkan amplop yang lumayan tebal ke dalam genggamannya. Ia yang kebetulan sedang mengalami krisis keuangan, tentu saja menerima rezeki tak disangka-sangka itu dengan penuh rasa syukur. Dan ia enggan bertanya-tanya lagi, kecuali menyanggupi.

Sekarang setelah penyamaran berlangsung, dirinya baru sadar. Ini bukan sekedar penyamaran biasa.

"Masih ingat wejangan Daddy tempo hari, kan, Gas?" tegur sang Baginda. Mengagetkannya.

"We-jangan? Oh, tentu saja, Dad, aku ingat!"

"Ndak perlu nervous begitu, Nak. Hadapi audience dengan santai," perempuan yang duduk anggun di samping kirinya ikut menimpali.

"Di atas podium nanti, tunjukkan kesantunanmu seperti ini." Bak ratu piningit perempuan anggun itu menganggukkan kepala. "Perhatikan juga gaya bicara. Harus elegan. Gunakan bahasa berkelas."

"Jangan lupa menebar senyum, seperti ini."

"Angkat tangan kananmu seperti ini."

"Miringkan dagumu sedikit seperti ini."

Silih berganti dua Baginda itu memberi contoh kepada Ryan. Alhasil, kepala Ryan menjadi pening karena beberapa kali mesti menoleh ke kanan dan ke kiri seperti burung pelatuk.

"Abaikan suara-suara fals yang tertangkap oleh telingamu, ikuti saja irama hatimu," pria berwibawa itu kembali bertutur. Ryan mengernyitkan alis. Suara fals? Irama hati? Ia semakin tidak mengerti. Bingung. Gagal paham. Bahasa Baginda terlalu nyeni dan puitis.

Tiba-tiba saja Ryan ingin nekat meloncat dari mobil dan melarikan diri sejauh-jauhnya.

Tapi sejenak kemudian ia teringat Bram. Yah, ia harus menelpon sohib karibnya itu. Harus!

Tapi terlambat. Iring-iringan mobil sudah memasuki area parkir dan berhenti tepat di depan sebuah gedung mewah bercat putih.

Hati Ryan kebat-kebit. Sungguh, ia merasa dirinya bagai katak dalam tempurung.

***

Gedung mewah itu sudah dipenuhi tamu undangan. Beberapa di antara mereka duduk dan berbincang dengan serius. Sementara beberapa yang lain sibuk menyongsong iring-iringan yang baru saja tiba.

Kembali dua Baginda mengapit lengannya. Mereka berjalan berdampingan menuju tempat duduk VIP yang sudah disediakan oleh panitia. Berpasang-pasang mata kini tertuju kepada mereka. Ryan menjadi rikuh dan salah tingkah.

"Sudah siap menyampaikan program kerja, Mas Bagas?" pembawa acara datang menghampiri. Ryan tergagap. Ia nyaris menggeleng. Tapi kedua Baginda terburu mengangguk.

"Tentu saja ia sudah sangat---sangat siap sekali," pria berwibawa mengambil alih menjawab dengan suara mantap.

"Baiklah. Acara sebentar lagi dimulai. Mas Bagas boleh mempersiapkan diri." Pembawa acara itu mengangguk dan tersenyum ramah.

Tapi di mata Ryan senyum ramah itu tetiba saja berubah menjadi semacam seringai.

***

"Dad, boleh aku pamit ke kamar kecil sebentar?" Ryan memberanikan diri menatap pria berwibawa yang duduk tegap di sebelah kanannya.

"Tidak bisa ditangguhkan, Nak?" suara Baginda nyaris tak terdengar.

"Tidak bisa, Dad. Ini efek terlalu banyak minum dan juga dinginnya ruangan ber-AC ini," Ryan mengemukakan alasan. Pria berwibawa itu akhirnya mengangguk.

"Perlu Mom antar, tidak?" perempuan matang di sampingnya berdiri.

"Tidak usah, Mom. Thank's...."

Ryan berjalan terburu menuju toilet yang terletak di bagian ujung gedung pertemuan. Dikuncinya pintu rapat-rapat. Lalu dihirupnya napas dalam-dalam.

Gugup ia meraih ponsel dari dalam saku celananya.

"Bram, aku mundur dari penyamaran gila ini!" serunya bersungguh-sungguh.

"Kenapa, Bro? Ada masalah?"

"Ini tidak sesederhana yang kupikirkan, Bram. Mereka meminta aku memaparkan program kerja. Program kerja apa-an? Suer, aku tidak tahu apa-apa!"

"Oh, itu. Don't worry,be happy, Bro. Dua Baginda di sampingmu itu pasti siap membantu."

"Maksudmu?"

"Ikuti saja titah mereka. Pasti beres."

Ryan ingin memprotes. Tapi ponselnya mendadak mati. Lowbat.

Bersamaan itu terdengar seseorang mengetuk pintu.

"Mas Bagas, audience sudah tidak sabar lagi menunggu pidato Anda."

Bersambung......

***

Malang, 12 Agustus 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun