"Jangan lupa menebar senyum, seperti ini."
"Angkat tangan kananmu seperti ini."
"Miringkan dagumu sedikit seperti ini."
Silih berganti dua Baginda itu memberi contoh kepada Ryan. Alhasil, kepala Ryan menjadi pening karena beberapa kali mesti menoleh ke kanan dan ke kiri seperti burung pelatuk.
"Abaikan suara-suara fals yang tertangkap oleh telingamu, ikuti saja irama hatimu," pria berwibawa itu kembali bertutur. Ryan mengernyitkan alis. Suara fals? Irama hati? Ia semakin tidak mengerti. Bingung. Gagal paham. Bahasa Baginda terlalu nyeni dan puitis.
Tiba-tiba saja Ryan ingin nekat meloncat dari mobil dan melarikan diri sejauh-jauhnya.
Tapi sejenak kemudian ia teringat Bram. Yah, ia harus menelpon sohib karibnya itu. Harus!
Tapi terlambat. Iring-iringan mobil sudah memasuki area parkir dan berhenti tepat di depan sebuah gedung mewah bercat putih.
Hati Ryan kebat-kebit. Sungguh, ia merasa dirinya bagai katak dalam tempurung.
***
Gedung mewah itu sudah dipenuhi tamu undangan. Beberapa di antara mereka duduk dan berbincang dengan serius. Sementara beberapa yang lain sibuk menyongsong iring-iringan yang baru saja tiba.